Opini
Menyelesaikan Sengketa dengan Islam
Oleh: Ma'arif Amiruddin
(Trainer THS)
TanahRibathMedia.Com—Pertengkaran antara manusia adalah hal yang biasa terjadi, disebabkan karena perbedaan pemahaman, persepsi, keinginan, dan lain sebagainya. Tetapi jangan sampai pertengkaran itu menjurus pada tindakan-tindakan yang diharamkan, seperti pembunuhan.
Allah Swt. berfirman:
وَلَا تَقْتُلُوا النَّفْسَ الَّتِي حَرَّمَ اللَّهُ إِلَّا بِالْحَقِّ
Janganlah kalian membunuh jiwa manusia yang telah Allah haramkan (untuk dibunuh), kecuali dengan alasan yang benar. (TQS al-Isra’ [17]: 33).
Masih banyak jalan lain yang bisa ditempuh untuk menyelesaikan sebuah masalah, alangkah lebih indah apabila perselisihan itu diselesaikan dengan kepala yang dingin, sikap kedewasaan dan juga kekeluargaan yang nyaman.
Tentu akan merugikan pihak lain bahkan kedua belah pihak akan merugi apabila masalah itu diselesaikan dengan jalan kepala yang panas. Seringkali tindakan yang dilakukan dalam keadaan marah, justru menjadi penyesalan di akhir.
Bukankah Islam telah mengajarkan kita beberapa teknik untuk menghilangkan atau meredakan rasa marah? Di antaranya adalah mengucapkan kalimat ta'awudz, yakni sebuah kalimat doa dalam rangka meminta perlindungan kepada Allah subhanahu wa ta'ala dari gangguan setan yang terkutuk.
Islam juga memberikan tutorial kepada kita semua bahwa ketika marah, hendaknya mengubah posisi tubuh. Misalnya, saat marah datang dalam posisi berdiri, maka duduklah! Juga apabila marah itu datang pada posisi duduk maka berbaringlah! Islam juga memerintahkan kita untuk berwudhu apabila amarah itu mengejolak dalam jiwa.
Jadi, ada banyak cara untuk menghilangkan rasa marah yang biasanya muncul ketika ada perselisihan dengan orang lain.
Yang pasti, sikap kita menjadi penentu, apakah amarah itu berlanjut pada tindakan-tindakan yang nantinya akan disesali, ataukah amarah itu bisa ditahan, ditekan bahkan dihilangkan.
Insya Allah akan ada pahala yang Dia berikan kepada seseorang yang mampu mengendalikan, menahan amarah yang bergejolak dalam dirinya, sebagaimana sabda Nabi shallallahu alaihi wasallam, "Jangan marah bagimu surga." (HR. Thabrani).
Menahan amarah memang sesuatu yang sulit, apalagi pada seseorang yang kondisi lingkungannya membentuk dia sebagai orang yang temperamental, tetapi perlu diingat, semakin kuat seseorang itu menahan dirinya untuk meluapkan perkara yang tidak diridhoi Allah maka insya Allah semakin besar pula potensi pahala yang bisa dia dapatkan.
Bukankah hidup kita di dunia ini tujuannya adalah mendapatkan rida Allah subhanahu wa ta'ala? Maka ketika emosi itu memuncak, ingat-ingatlah kembali tujuan kita diciptakan di permukaan bumi ini. Harapannya dengan begitu kita kembali sadar bahwa kehidupan dunia ini hanyalah kesenangan yang menipu, kita tidak akan selamanya tinggal di dunia ini. Sikap seperti ini sangat efektif apabila ada perselisihan terkait persoalan harta, misalnya.
Seseorang akan mudah legowo, akan mudah melepaskan, walaupun itu menjadi haknya, tetapi dengan mengingat kembali tujuan penciptaannya sebagai hamba di permukaan bumi ini maka dia akan mudah mengalah apabila terjadi perselisihan persoalan harta.
Apalagi persoalan harta ini yang paling banyak menyebabkan manusia bersitegang, sebab memang harta ini menjadi ujian bagi umat akhir zaman.
Terlebih muncul framing di tengah-tengah masyarakat bahwa orang yang memiliki banyak harta adalah orang yang mulia, kedudukannya terhormat. Sementara orang yang tidak punya harta, dianggap sebagai orang yang gagal, lemah dan tidak memiliki kedudukan yang berarti di tengah-tengah masyarakat.
Ini adalah standar kesuksesan dalam dunia sekularistik seperti saat ini, harta menjadi primadona, sementara urusan agama, ketakwaan serta kedekatan dengan Allah menjadi hal-hal yang sifatnya pribadi, tidak menjadi tolok ukur kemuliaannya di tengah-tengah masyarakat.
Via
Opini
Posting Komentar