SYIAR
Meraih Kesucian Jiwa
Oleh: Maman El Hakiem
(Pegiat Literasi)
TanahRibathMedia.Com—Setiap manusia dilahirkan dengan dibekali potensi luar biasa oleh Allah Swt. Potensi tersebut berupa hajatul udhawiyah (kebutuhan fisik) dan gharizah (potensi naluri). Kedua aspek ini menjadi dasar manusia untuk melakukan aktivitas atau amal yang memiliki nilai ruh tersendiri jika dikaitkan dengan perintah atau larangan Allah Swt.
Menurut Dr. H. Nurhilal Ahmad M,Si dalam rangkaian acara Malam Bina Iman dan Takwa (Mabit) di Argapura, Majalengka (7-12-2024), menjelaskan bahwa hakikat ruh dalam arti nyawa atau sirrul hayah merupakan materi yang ada pada manusia bersama bentuk fisiknya (jasad). "Bila aktivitas hidup manusia memiliki keterikatan atau kesadaran akan hubungannya dengan Allah sebagai pencipta dan pengatur kehidupan. Tentunya, itulah yang dinamakan ruhiyah," jelas Ustaz Nurhilal.
Adapun yang dimaksud hajatul udhawiyah udhawiyah, mencakup kebutuhan fisik seperti makan, minum, tidur, dan perlindungan tubuh. Pemenuhannya bersifat wajib untuk menjaga keberlangsungan hidup manusia. Sementara itu, gharizah meliputi potensi naluri seperti naluri mempertahankan diri, kasih sayang, dan spiritualitas. Berbeda dengan kebutuhan fisik, gharizah tidak harus dipenuhi secara langsung untuk keberlangsungan hidup, namun apabila diabaikan, akan melahirkan kegelisahan dan ketidakseimbangan jiwa.
Keseimbangan antara keduanya hanya bisa dicapai dengan memanfaatkan akal sebagai anugerah terbesar manusia. Akal tidak hanya bertugas memahami kebutuhan, tetapi juga menentukan cara terbaik dalam pemenuhannya, sesuai dengan nilai-nilai kebenaran.
Ilmu Penerang Akal
Agar akal dapat bekerja dengan sehat, ia membutuhkan ilmu sebagai penerangnya. Tanpa ilmu, akal dapat tersesat oleh hawa nafsu atau pengaruh lingkungan yang negatif. Rasulullah saw. bersabda:
"Barang siapa yang Allah kehendaki kebaikan padanya, maka Dia akan memahamkan dia tentang agama." (HR. Bukhari dan Muslim).
Ilmu yang dipahami tidak cukup hanya berhenti pada tingkat pemahaman. Ia harus diamalkan agar memberikan dampak nyata dalam kehidupan. Ilmu yang diamalkan akan melahirkan hikmah, yaitu kemampuan untuk bertindak dengan bijaksana. Hikmah inilah yang menjadi cikal bakal jiwa yang suci.
Jiwa yang suci adalah jiwa yang terbebas dari penyakit hati seperti iri, dengki, sombong, dan kebencian. Jiwa ini tumbuh dari kombinasi akal sehat dan ilmu yang terus-menerus diamalkan. Ketika seseorang memahami bahwa segala sesuatu di dunia ini memiliki tujuan dan hikmah, ia akan lebih mudah bersyukur, bersabar, dan berbuat kebaikan.
Akal yang sehat tidak hanya mampu membedakan antara yang benar dan salah, tetapi juga mampu menahan diri dari pemenuhan kebutuhan yang bertentangan dengan nilai-nilai moral dan agama. Contohnya, meskipun lapar (hajatul udhawiyah) adalah kebutuhan, seorang yang memiliki akal sehat tidak akan mengambil makanan yang haram untuk memenuhi rasa laparnya.
Ilmu yang diamalkan pun memberikan panduan agar pemenuhan gharizah berjalan sesuai koridor yang benar. Naluri kasih sayang, misalnya, diarahkan untuk mencintai sesama manusia tanpa melanggar batas syariat, sementara naluri agama atau spiritual membawa seseorang untuk mendekatkan diri kepada Allah Swt.
Kesimpulan
Meraih kesucian jiwa tidak datang begitu saja, melainkan merupakan hasil dari usaha manusia dalam menjaga akalnya tetap sehat melalui pencarian ilmu dan amal perbuatannya. Pemenuhan kebutuhan fisik (hajatul udhawiyah) dan naluri (gharizah) yang dilakukan dengan cara yang benar akan melahirkan keseimbangan hidup yang hakiki. Dari keseimbangan itulah, jiwa yang suci terwujud, membawa manusia lebih dekat kepada Allah Swt. menjalani hidup dengan penuh keberkahan, dan memberikan manfaat kepada sesama.
Wallahu'alam bish Shawwab
Via
SYIAR
Posting Komentar