Opini
Pajak, Instrumen Palak ala Kapitalisme
Oleh: Yuke Octavianty
(Forum Literasi Muslimah Bogor)
TanahRibathMedia.Com—Perbincangan terkait pajak masih terus bergulir. Pemerintah berencana akan menaikkan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 11 persen menjadi 12 persen mulai Januari 2025, dengan beberapa pengecualian untuk barang dan jasa tertentu (antaranews.com, 14-12-2024).
Penetapan tersebut diklaim untuk menjaga daya beli masyarakat dan menjamin keberlanjutan sektor-sektor tertentu yang berdampak langsung pada sektor ekonomi dan sosial. Pemerintah pun menetapkan daftar barang-barang yang terkena PPN 12 persen, mulai dari daging premium (wagyu, daging kobe), buah-buahan premium, ikan premium (salmon dan tuna premium) beras premium, sekolah internasional, layanan kesehatan premium, dan listrik pelanggan rumah tangga 3.500 -6.660 Volt Ampere (bisnis.com, 16-12-2024).
Menteri Keuangan, Sri Mulyani memaparkan asas gotong royong menjadi dasar utama dalam penetapan kenaikan PPN. Masyarakat yang terkategori mampu secara ekonomi akan membayar pajak sementara yang tidak mampu, dibantu dan dilindungi. Demikian lanjutnya.
Pajak, Kebijakan Palak
Instrumen pajak menjadi hal yang selalu disebut-sebut sebagai sumber pendapatan negara yang potensial. Kebijakan ini pun selalu diotak-atik dan terus ditambah jumlahnya dari waktu ke waktu.
Menurut para ahli ekonomi, kebijakan kenaikan PPN menjadi 12 persen akan berdampak buruk bagi pergerakan sektor ekonomi secara umum. Salah satunya diungkapkan oleh Ronny Bako, Ahli Pajak Universitas Pelita Harapan. Ronny menyatakan, kebijakan ini akan meningkatkan harga barang sehingga menurunkan daya beli masyarakat (rri.co.id, 6-12-2024).
Keadaan ekonomi yang semakin tidak menentu ditambah pajak yang terus naik akan semakin memperburuk masa depan ekonomi. Kenaikan PPN ini pun bisa memicu badai PHK yang semakin memburuk, menambah ketidakpastian iklim usaha yang berujung pada meningkatnya jumlah perusahaan yang gulung tikar.
Meskipun disebutkan sebagai asas gotong royong antara masyarakat ekonomi mampu dan tidak mampu, ujung-ujungnya tetap berdampak sistematis pada perekonomian dalam negeri.
Kenaikan tarif PPN ini dikatakan sebagai strategi untuk meningkatkan penerimaan negara untuk memfasilitasi anggaran pembangunan negara. Selain itu, kenaikan pajak ini pun ditujukan untuk mengurangi ketergantungan pada utang luar negeri. Namun, faktanya kebijakan tersebut justru memberatkan masyarakat secara umum. Bahkan, para ahli ekonomi pun meragukan keefektifan kebijakan ini dalam meningkatkan penerimaan negara dan mengurangi utang.
Dampak yang jelas dari kebijakan ini adalah peningkatan kesulitan hidup bagi rakyat. Kondisi ekonomi semakin berat, terlebih dengan adanya kenyataan ekonomi yang serba sulit. Daya beli masyarakat semakin menurun, sementara harga barang kebutuhan pokok terus melambung. Banyak pengusaha yang terpaksa tutup karena tingginya biaya produksi, yang tidak dapat tertutupi oleh keuntungan yang diperoleh, sebagai akibat dari semakin melemahnya daya beli masyarakat.
Di samping itu, praktik korupsi yang semakin merajalela dan kebijakan pemerintah yang cenderung bergantung pada utang semakin memperburuk keadaan. Alih-alih meningkatkan penerimaan negara, kondisi ekonomi justru semakin tidak terkendali. Tidak menutup kemungkinan, keadaan ekonomi yang semakin buruk akan menciptakan kebangkrutan dalam pengelolaan tata ekonomi negara.
Keadaan ini merupakan dampak dari penerapan sistem ekonomi kapitalisme yang mengandalkan pajak sebagai sumber utama pendapatan negara. Keuntungan materi menjadi satu-satunya orientasi. Sementara, kebutuhan rakyat terus dilalaikan. Di sisi lain, negara hanya mampu berperan sebagai regulator dan fasilitator yang lebih banyak melayani kepentingan pemilik modal dan oligarki.
Layak dikatakan bahwa pajak bukanlah instrumen untuk memperbaiki keadaan ekonomi negara. Namun, pajak merupakan kebijakan palak ala kapitalisme yang pasti menciptakan kesengsaraan bagi rakyat.
Sistem Ekonomi Islam yang Ideal
Islam memiliki sistem ekonomi yang mewajibkan negara untuk menjadi ra'in (pengurus) yang bertanggung jawab atas kesejahteraan rakyat. Islam juga menetapkan berbagai sumber pendapatan negara, seperti fa'i, ghanimah, kharaj, khumus, dan lain-lain sesuai dengan hukum syariat.
Rasulullah saw. bersabda, "Imam adalah ra'in (pengurus) dan ia bertanggung jawab atas urusan rakyatnya" (HR. Al Bukhori).
Dalam Islam, instrumen pajak bukanlah sumber utama pendapatan negara. Akan tetapi, pajak menjadi pilihan terakhir saat kas negara kosong. Dalam keadaan ekonomi yang lemah, kebijakan pajak (dharibah) bisa diterapkan sebagai pilihan oleh negara untuk memperbaiki keadaan ekonomi. Namun, kebijakan ini hanya berlaku bagi individu rakyat yang mampu membayar pajak dan tidak ditetapkan dalam jangka panjang. Ketika kondisi keuangan negara membaik, pajak tidak lagi ditetapkan sebagai kewajiban yang ditetapkan negara atas rakyatnya.
Selain itu, negara juga memiliki kewajiban untuk memenuhi kebutuhan dasar setiap individu, seperti pangan, sandang, papan, kesehatan, pendidikan, dan pelayanan publik lainnya. Segala bentuk kebutuhan rakyat ini dapat dicover melalui mekanisme dan strategi khas ala sistem Islam. Yakni mengelola sumberdaya alam secara mandiri oleh negara melalui strategi kebijakan yang amanah untuk kepentingan seluruh rakyat.
Dalam sistem ekonomi Islam, pengelolaan sumber daya yang melimpah akan menciptakan kecukupan untuk memenuhi kebutuhan seluruh rakyat. Kebijakan yang amanah akan menjadikan kepentingan rakyat sebagai prioritas utama.
Inilah sistem Islam yang menjaga kesejahteraan, yang hanya dapat diterapkan dalam sistem khilafah. Khilafah-lah satu-satunya institusi yang memberikan harapan berupa solusi pasti yang sempurna dan menyeluruh. Dengannya pula, kehidupan penuh berkah melimpah.
Wallahu a'lam bisshowwab.
Via
Opini
Posting Komentar