Opini
Pajak Vs. Daribah Sebagai Sumber Pendapatan Negara
Oleh: Yuli Ummu Raihan
(Aktivis Muslimah Tangerang)
TanahRibathMedia.Com—Pajak sebagai sumber pendapatan negara hari ini makin banyak jenisnya. Dinamisasi menjadi salah satu strategi yang dilakukan Direktorat Jenderal Pajak untuk mengejar target penerimaan tahun ini.
Setoran pajak per Oktober 2024 baru terealisasi Rp1.517,5 triliun, atau 76,3 persen dari target tahun ini. Strategi ini dilakukan untuk menghitung kembali angsuran pajak penghasilan (PPh) ketika perusahaan mengalami keuntungan signifikan atau sebaliknya. Menurut Dirjen Pajak Suryo Utomo, dinamisasi ini adalah kegiatan rutin yang dilakukan saat pengawasan wajib pajak (CNBC, 12-11-2024).
Pemerintahan memutuskan untuk tetap memberlakukan kenaikan PPh menjadi 12 persen mulai Januari 2025. Hal ini mendapat banyak kritik dari masyarakat. Betapa tidak, kondisi ekonomi yang semakin sulit, kebijakan ini tentu akan semakin menambah beban rakyat.
Pajak dalam Sistem Kapitalis
Dalam sistem kapitalis pajak adalah salah satu sumber utama pendapatan negara. Pajak juga digunakan untuk menutupi defisit anggaran akibat sistem ekonomi yang berbasis utang. Berbagai pajak dipungut dari rakyat. Bahkan pemerintah akan "mengejar" wajib pajak hingga ke rumah. Tim pembina pajak Samsat akan mendatangi rumah pemilik kendaraan yang menunggak pajak, untuk mengingatkan agar membayar pajak. Korlantas Polri mengatakan langkah ini diambil karena tingkat kepatuhan masyarakat untuk melakukan perpanjangan STNK sangat rendah.
Namun, kondisi berbeda diberlakukan pada pajak penjualan atas barang mewah (PPnBM) yang justru dibebaskan untuk jenis mobil listrik impor. Para pengusaha pun dimanjakan dengan adanya fasilitas tax holiday dengan alasan untuk menarik lebih banyak investasi asing.
Sungguh kondisi yang sangat miris dan bukti bahwa negara sangat berbeda perlakuannya dalam hal pajak. Rakyat yang untuk bertahan hidup saja sudah sangat sulit dipalak dengan berbagai pajak. Sementara para pengusaha atau oligarki justru diistimewakan.
Lebih miris lagi ketika distribusi dana pajak tidak dirasakan manfaatnya oleh rakyat kecil. Lihat saja berbagai fasilitas publik seperti pendidikan, kesehatan dan transportasi baru bisa dinikmati ketika ada uang. Rakyat harus membayar mahal agar bisa merasakan semua itu. Subsidi untuk rakyat pun makin dikurangi. Kurang apes apa nasib rakyat Indonesia?
Para oligarki bertepuk tangan dan senyum sumringah menikmati berbagai kemudahan. Mendapatkan keuntungan besar dari proyek- proyek besar. Para pejabat dan wakil rakyat pun dimanjakan dengan berbagai fasilitas mewah, gaji serta tunjangan besar yang semuanya bersumber dari pajak alias uang rakyat.
Diketahui penerimaan pajak 2023 mencapai 78 persen dari total penerimaan negara sebesar Rp2.774,3 triliun (Kemenkeu, 10-1-2024).
Dana sebesar itu tidak sebanding dengan penerimaan negara dari hasil sumber daya alam (SDA) yang hanya sebesar Rp223 triliun atau hanya 8 persen dari total penerimaan negara. Artinya kekayaan SDA kita tidak dirasakan manfaatnya oleh rakyat. Hal ini terjadi karena SDA kita diserahkan pengelolaannya kepada asing dan aseng. Negara hanya mendapatkan dividen yang sangat kecil. Jurang perbedaan terbuka lebar antara orang kaya dengan rakyat biasa.
Data dari World Inequality Report (WIR) 2022 menunjukkan bahwa 1% penduduk terkaya di Indonesia menguasai 30,16% dari total aset rumah tangga nasional. Sementara kelompok 50% terbawah hanya merasakan 4,5 % dari total kekayaan rumah tangga nasional.
Dharibah dalam Islam
Dalam sistem Islam salah satu sumber pemasukan negara disebut pajak atau dharibah. Tetapi penerapannya sangat jauh berbeda dengan sistem kapitalis hari ini.
Negara Islam memiliki politik ekonomi yang menjamin terpenuhinya kebutuhan pokok rakyat (sandang, pangan, papan serta pendidikan, kesehatan dan keamanan). Hal ini berlaku untuk setiap individu tanpa ada perbedaan. Sistem Islam juga memungkinkan setiap individu mampu memenuhi kebutuhan sekunder dan tersier dengan adanya sistem ekonomi yang mengatur penafkahan, industri, pertanian, perdagangan dan lainnya. Negara juga membuat berbagai kebijakan yang menjaga agar ekonomi berjalan baik serta meminimalisir terjadinya kecurangan, monopoli pasar dan menjaga distribusi harta.
Islam juga memiliki aturan tentang kepemilikan, mulai dari cara mendapatkan, pengelolaan, hingga pengembangan harta. Negara mengelola secara mandiri SDA sehingga manfaatnya bisa dirasakan langsung maupun tidak langsung oleh rakyat.
Sumber pemasukan negara Islam berasal dari tiga bagian yaitu fai dan kharaj, kepemilikan umum dan zakat. Pos fai dan kharaj terdiri dari ghanimah, kharaj, jizyah, fai dan dharibah atau pajak. Dengan semua sumber pemasukan ini negara akan mampu membiayai pembelanjaan negara dan membangun berbagai fasilitas publik tanpa mengalami defisit (utang) dan tanpa memungut pajak.
Dengan mekanisme ini, negara tidak akan menetapkan target pajak setiap tahun. Pajak ditarik hanya ketika kondisi Baitul mal (kas negara) kosong sementara ada kebutuhan yang wajib dipenuhi dan sifatnya mendesak dan menimbulkan mudharat jika tidak segera dilakukan.
Hal ini sesuai sabda Rasulullah saw.: " Tidak boleh ada bahaya (dharar) dan membahayakan." (HR Ibnu Majah dan Ahmad).
Dharibah dalam Islam hanya ditarik dari orang-orang yang kaya (telah terpenuhi kebutuhan pokoknya) dan sifatnya situasional (hanya pada saat dibutuhkan). Ketika permasalahan telah teratasi pajak tidak lagi ditarik. Berbeda jauh dengan fakta pajak hari ini yang mana setiap orang dikenakan pajak, mampu atau tidak, dan terus menerus.
Dalam sistem Islam tidak boleh mengambil harta dari seseorang tanpa hak, sesekali pun itu dilakukan negara. Allah berfirman dalam QS. Al-Baqarah ayat 188 yang artinya:
"Janganlah kalian memakan harta di antara kalian dengan jalan yang batil."
Menurut Imam Ibnu Katsir, ayat ini melarang segala bentuk kezaliman dan perampasan harta, apalagi dilakukan oleh penguasa terhadap rakyatnya.
Hal ini dipertegas oleh sabda Rasulullah saw.
"Tidaklah seorang hamba yang telah Allah beri amanah untuk mengurus rakyatnya, lalu dia mati dalam keadaan memperdaya rakyatnya, kecuali dia tidak akan mencium bau surga." (HR al-Bukhari dan Muslim).
Dalam hadits lain Rasulullah saw bersabda,"Tidak akan masuk surga pemungut pajak (cukai)." (HR Ahmad, Abu Dawud dan Al Hakim).
Sejahtera Tanpa Pajak
Jika semua aturan Islam diterapkan dengan sempurna dalam segala aspek kehidupan insya Allah Kesejahteraan bukanlah sebuah mimpi. Indonesia dengan segala kekayaan alamnya sangat layak untuk menghadirkan kesejahteraan untuk semua rakyatnya.
Menurut Ekonom Muslim, Muhammad Ishak (2024), potensi kekayaan alam Indonesia sangat besar. Ada minyak mentah, gas alam, batubara, emas, tembaga, nikel, hutan, laut, saja bisa diperoleh laba sebesar Rp 5.510 triliun (melebihi APBN yang hanya sekitar Rp3.000 triliun). Sayang semua potensi itu tidak dikelola dengan baik sehingga negara ini terus mengandalkan utang dan pajak sebagai sumber pendapatan.
Sementara dalam Islam SDA hanya satu dari sekian banyak sumber pendapatan negara. Dengan itu tentu pajak tidak perlu lagi dilakukan. Sejarah juga mencatat sepanjang Islam diterapkan bahkan belum pernah negara menarik pajak. Padahal pada masa itu SDA masih terbatas, bahkan belum ada eksploitasi seperti saat ini. Tapi sistem Islam terbukti mampu memberikan kesejahteraan pada semua rakyatnya, hingga pernah ada masa sulitnya menemukan orang yang berhak menerima zakat.
Pajak dalam sistem kapitalis dengan dharibah dalam Islam jelas berbeda. Sehingga sudah saatnya kita benar-benar kembali pada syariat Islam dan menerapkannya dalam segala aspek kehidupan melalui institusi bernama Khilafah. Jangan lagi tertipu dengan slogan orang bijak bayar pajak, karena seharusnya penguasa bijak tidak akan menarik pajak.
Wallahua'lam bishawab.
Via
Opini
Posting Komentar