Opini
Parisida, Fenomena Sistemis, Islam Solusi Tuntas
Oleh: Alfaqir Nuuihya
(Ibu Pemerhati Sosial)
TanahRibathMedia.Com—Birrul walidain (berbuat baik kepada orang tua) adalah salah satu perintah Allah yang wajib dilaksanakan oleh hamba-Nya sebagai salah satu bentuk ketundukan terhadap syariat, bukan hanya karena tuntutan norma susila atau kesopanan.
Betapa banyak dalil Al-Qur’an dan As-sunah yang telah menjelaskan secara gamblang tentang kewajiban birrul walidain. Bahkan tidak hanya berbuat baik kepada orang tua, berkata "ah" saja yang mengandung makna rasa jengkel, keluhan, rasa bosan, atau perasaan negatif lainnya menjadi suatu hal yang terlarang bagi seorang anak.
Seperti dikutip dari surat Al-Isra ayat 23, yang artinya, "Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berusia lanjut dalam pemeliharaanmu, sekali-kali janganlah engkau mengatakan kepada keduanya perkataan ‘ah’ dan janganlah engkau membentak keduanya, serta ucapkanlah kepada keduanya perkataan yang baik."
Dalam ayat lain yang terkandung dalam surat Luqman terdapat nasihat, seorang hamba yang saleh, bukan seorang nabi atau rasul, tetapi namanya diabadikan menjadi salah satu surat di dalam Al-Qur’an, terdapat gambaran tentang bagaimana seharusnya memperlakukan orang tua.
Surat Luqman ayat 15, bahkan menggambarkan bahwa sebagai anak harus tetap berbuat makruf atau baik terhadap orang tua sekalipun mereka mengajak untuk mempersekutukan Allah. "Dan jika keduanya mamaksamu untuk mempersekutukan aku dengan sesuatu yang engkau tidak mempunyai ilmu tentang itu, maka janganlah engkau menaati keduanya, dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik, dan ikutilah jalan orang yang kembali kepada-Ku."
Sangat miris saat ini banyak fenomena justru terjadi sebaliknya. Kejadian di luar nalar justru sering terjadi di sekitar kita. Kasus terbaru, seorang anak yang baru berusia 14 tahun, tega melakukan pembunuhan terhadap ayah dan neneknya dengan menggunakan pisau. Sedangkan ibunya, mengalami luka parah atas penusukan tersebut. Kejadian ini terjadi di Lebak Bulus, Cilandak, Jakarta Selatan pada pukul 01.00 dini hari, Sabtu (30-11-202).
Fenomena parisida atau anak membunuh orang tua sebenarnya sudah sering terjadi di negeri ini. Deretan kasus ini meningkat semenjak merebaknya Covid-19, bahkan dalam waktu setahun ini saja, ketua Asosiasi Psikologi Forensik Indonesia (Apsifor) Nathanael Elnadus Johanes Sumampouw telah menemukan dua kasus yang serupa.
Dengan rata-rata alasan yang sama, yaitu adanya tekanan keluarga terhadap anak sebagai pelaku pembunuh (tempo.co, 08-12-2024). Fenomena ini menjadi bukti bahwa kasus parisida atau anak-anak yang membunuh orang tua adalah kejadian yang bersifat sistemis.
Buah Penerapan Sistem Sekuler
Jika kita menilik salah satu penyebab kasus ini yaitu adanya tekanan dari keluarga, betul sekali. Betapa banyak saat ini, keluarga lebih mementingkan untuk mendidik anak agar berhasil secara akademik, dengan harapan suatu saat anak-anak akan berhasil secara materi.
Begitulah sistem sekuler kapitalis, akan menggiring seluruh anggota keluarga untuk menjadikan materi sebagai standar sebuah keberhasilan. Di sisi lain, ketika orang tua telah terjerat sekuler, mereka pun lupa untuk menanamkan akidah yang benar di dalam jiwa anak-anak. Sehingga ketika anak-anak akan meraih kesuksesan, mereka lupa untuk menjadikan rida Allah sebagai tujuan akhir keberhasilannya.
Maka, menjadi suatu hal yang wajar, ketika keluarga tidak melibatkan Allah dalam setiap episode pendidikan anak-anak, tentu anak-anak pun akan merasa tertekan untuk berada di bawah keluarganya yang ambisius. Selaras dengan pendidikan di sekolah, sistem pendidikan saat ini, yang hanya menjadikan keberhasilan materi sebagai tujuan, menjadikan pribadi anak-anak gersang, dan jauh dari suasana keimanan kepada Allah Swt.
Begitu pun tatanan masyarakat yang lebih apatis dan individualis terhadap sekitar, enggan untuk amar makruf nahi mungkar. Hal ini sangat memengaruhi pembentukan kepribadian anak. Sayangnya, saat ini masyarakat lebih memilih untuk menutup mata ketika banyak pelanggaran terhadap aturan agama, seperti pergaulan bebas, pacaran hingga perzinaan, bahkan sikap permisif.
Secara tidak langsung, masyarakat membolehkan sikap tersebut meski bertentangan dengan syariat Islam. Akibatnya, generasi semakin jauh dari kesalehan, akibat sistem sekuler kapitalis yang telah mendarah daging dalam lapisan masyarakat.
Didukung oleh kebijakan sistem pendidikan yang diselenggarakan oleh negara, pendidikan yang sekuler menjauhkan anak-anak dari kesalehan, memperburuk jiwa dan mental mereka. Halal dan haram tidak dijadikan patokan dalam setiap perbuatan serta menjadikan materi sebagai tujuan dalam melaksanakan perbuatan. Sehingga melahirkan anak-anak dengan jiwa-jiwa kebebasan dan jauh dari pemikiran Islam yang khas.
Begitu pula dengan tontonan yang bebas dikonsumsi oleh seluruh kalangan masyarakat, termasuk anak-anak. Hal ini sangat berpengaruh buruk dan merusak pola pikir generasi. Maka, negaralah yang sesungguhnya bertanggung jawab atas berkeliarannya konten-konten kekerasan yang sangat memengaruhi generasi.
Namun lagi dan lagi, negara tidak mampu membendung maraknya konten yang dikonsumsi masyarakat karena negara pun mendapatkan keuntungan secara materi dengan berkeliarannya setiap konten yang beredar. Sungguh, ini menjadi hal yang sangat ironi.
Solusi Islam
Keluarga adalah benteng pertama dalam pembentukan generasi. Sebagai sekolah pertama, keluarga harus mampu bertanggung jawab dalam pendidikan anak-anak dan menjadikan keimanan kepada Allah sebagai landasan. Sehingga akan terbentuk anak-anak yang memiliki akidah yang benar dan kuat, takwa kepada Allah dan memiliki syakhsiyyah Islam.
Maka, ketika anak-anak akan melakukan sesuatu, sudah dipastikan akan menjadikan halal dan haram sebagai landasan perbuatannya. Mereka akan siap pula mempertanggungjawabkan setiap perbuatannya.
Masyarakat pun akan tampil menjadi pengontrol. Masyarakat yang hidup di bawah peraturan Islam akan terbiasa dengan amar makruf nahi mungkar, sehingga mampu mencegah generasi untuk melakukan kemaksiatan dan perilaku bebas lainnya.
Negara memiliki peran yang paling penting dalam pembentukan generasi yang saleh. Negaralah yang bertanggung jawab dalam pembentukan generasi yang bertakwa dan hanya negaralah yang mampu mengontrol seluruh lapisan masyarakat agar senantiasa hidup dalam ketaatan.
Begitu pun setiap konten atau tontonan, negaralah yang memiliki kemampuan untuk mengaudit dan meng-cover setiap tontonan yang hanya akan merusak generasi. Di satu sisi, pendidikan pun harus dipastikan berdasarkan akidah Islam sehingga mudah untuk membentuk generasi yang memiliki kepribadian Islam.
Betapa sempurnanya sistem Islam dan dipastikan akan membawa kemaslahatan dalam kehidupan di dalam seluruh lapisan, dari mulai keluarga, masyarakat, hingga negara sebagai pemimpin skala besar. Semua bisa dipastikan akan tercipta, jika sistem Islam diterapkan secara sempurna oleh negara.
Wallahualam bissawab.
Via
Opini
Posting Komentar