Opini
Pemerataan Kesehatan, Mungkinkah Terwujud dalam Penerapan Sistem Kapitalis?
(Sahabat Tanah Ribath Media)
TanahRibathMedia.Com—Pemerataan kesehatan masih belum terwujud di negeri ini. Padahal kesehatan merupakan kebutuhan pokok dan hak seluruh rakyat baik yang tinggal di pelosok pedesaan maupun di perkotaan. Fakta menunjukkan 80 persen warga desa masih melakukan pengobatan sendiri. Hal ini dipengaruhi oleh kondisi ekonomi, akses tempat tinggal dan minimnya akses jalan menuju fasilitas kesehatan terdekat (Goodstats.id, 6-6-2024).
Sementara di perkotaan pelayanan kesehatan tidak memuaskan, walaupun peserta Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) membayar iuran setiap bulan namun pelayanan maupun obat yang diberikan berbeda dari pasien non BPJS. Diskriminasi ini menunjukkan bahwa rakyat tidak mendapat pelayanan kesehatan secara merata.
Hal ini diperburuk dengan kondisi dana BPJS yang bisa mengalami defisit, seperti yang disampaikan oleh Kepala Humas BPJS Kesehatan Rizky Anugrah, bahwa rasio beban jaminan kesehatan terhadap penerimaan iuran JKN sampai Oktober 2024 telah mencapai 109,62 persen yang berarti beban yang dibayarkan lebih tinggi dari iuran yang masuk.
Begitu juga BPJS kesehatan mencatat penerimaan iuran sebesar Rp133,45 triliun sedangkan beban jaminan kesehatan mencapai Rp146,28 triliun. Selisih tersebut akan menimbulkan defisit bahkan gagal bayar (Bisnis.com, 7-12-2024).
Komersialisasi kesehatan dalam Sistem Kapitalis
Banyaknya permasalahan dalam sektor kesehatan tidak lepas dari penerapan sistem kapitalis. Permasalahan infrastruktur kesehatan yang tidak memadai terutama di pelosok daerah, distribusi tenaga kesehatan yang tidak merata dan permasalahan anggaran kesehatan yang hanya sebesar 5,6 persen dari APBN.
Hal ini berdampak pada tidak meratanya pelayanan kesehatan. Padahal rakyat yang tinggal di pelosok daerah maupun di perkotaan berhak mendapatkan layanan kesehatan yang berkualitas.
Kepemimpinan sekuler menjadikan penguasa abai terhadap perannya sebagai raa'in atau pengurus urusan rakyat. Negara hanya berperan sebagai regulator dan fasilitator tidak benar-benar memberikan pelayanan secara maksimal kepada rakyat.
Hal ini terbukti dengan banyaknya Rumah Sakit yang dikelola oleh swasta yang jumlahnya mencapai 64 persen dari seluruh rumah sakit yang ada di negeri ini, 27 persen dikelola oleh pemerintah daerah dan 9 persen oleh pemerintah pusat. Pengelolaan Rumah sakit oleh pihak swasta tentu tidak hanya berorientasi pada pelayanan saja, melainkan juga berorientasi pada profit.
Begitu pula perusahaan farmasi yang bertugas menyuplai obat-obatan kepada rumah sakit lebih banyak dimiliki oleh individu atau swasta. Menurut data kementrian perindustrian BUMN hanya memiliki empat perusahaan farmasi, sedangkan 199 lainnya dikuasai oleh swasta dan 24 perusahaan multinasional ( Liputan6.com, 28-3-2022). Hal ini tentu berpengaruh terhadap harga obat-obatan.
Sehingga wajar bila terjadi komersialisasi kesehatan yang menyebabkan sistem perawatan dua tingkat sesuai biaya yang dibayarkan, menurunnya kualitas perawatan dan bisa menyebabkan konflik kepentingan antara penyedia layanan dan pasien.
Bisa dipastikan narasi pemerintah soal anggaran kesehatan yang diprioritaskan dan upaya peningkatan standarisasi profesi kesehatan sejatinya bukan untuk rakyat melainkan demi melayani kepentingan korporasi. Hal ini sesuai dengan prinsip kapitalisme itu sendiri yaitu untuk mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya. Bahkan pelayanan untuk rakyat pun harus menghasilkan keuntungan.
Terwujudnya Pelayanan Kesehatan dalam Sistem Islam
Kesehatan adalah kebutuhan dasar publik yang wajib disediakan negara. Jaminan kesehatan bagi seluruh rakyat itu hanya mungkin terwujud dalam sistem kepemimpinan Islam. Karena Islam memiliki berbagai mekanisme yang tepat untuk mewujudkannya. Negara dengan sistem Islam memiliki sumber pendapatan lebih banyak yang memungkinkan negara memiliki cukup dana untuk membiayai penyelenggaraan negara tanpa mempersulit kehidupan rakyat.
Kepemimpinan khalifah yang berperan sebagai raa'in serta penerapan syariat Islam secara kaffah menjamin negara mampu memenuhi semua kebutuhan rakyat, termasuk memberikan layanan kesehatan dengan fasilitas yang memadai, layanan berkualitas dan tanpa biaya. Seperti yang pernah terjadi pada masa kejayaan Islam di bawah kepemimpinan Islam selama hampir 1400 tahun.
Layanan Kesehatan pada Masa Kekhilafahan Islam
Ide pembangunan rumah sakit muncul pada masa kejayaan Islam. Rumah sakit pertama disebut Bimaristar atau Maristar yang dibangun atas permintaan Khalifah Al Walid pada masa Bani Umayyah. Selanjutnya dari masa ke masa perkembangan rumah sakit kian maju baik dari segi infrastruktur, pelayanan maupun tekhnologi. Sehingga pada masa itu banyak rumah sakit besar dan terkenal karena pelayanannya yang memuaskan dengan fasilitas yang memadai di setiap masa kepemimpinan Islam seperti pada masa Khalifah Harun Ar-Rasyid, Khalifah Al Manshur Ya'kub ibnu Yusuf maupun pada masa kepemimpinan Shalahudin Al Ayyubi.
Bahkan menurut catatan Ibnu Djubair yang mengunjungi Baghdad pada 1184, rumah sakit yang ada di Baghdad seperti istana raja.( Republika.co.id 23-1-2024)
Rumah sakit pun dibangun berdasarkan pertimbangan kesehatan dan aturan Islam seperti: rumah sakit dibangun di atas bukit atau didekat sungai, memperhatikan pemisahan antara laki-laki dan perempuan, sebagian rumah sakit memiliki sekolah atau kampus sehingga berfungsi sebagai tempat menuntut ilmu kedokteran. Selain dibangun rumah sakit permanen, rumah sakit keliling yang menyertai kafilah dagang atau haji juga sudah ada, begitupun rumah sakit spesialis. Pelayanan yang memuaskan bahkan tanpa dipungut biaya, hal ini berlaku bagi seluruh rakyat baik kaya maupun miskin.
Begitulah pelayanan kesehatan yang diberikan negara kepada rakyat pada masa kepemimpinan Islam dan hal ini berlangsung selama 1400 tahun.
Waallahu a'lam bishowab.
Via
Opini
Posting Komentar