Opini
The Fallacy Of Democracy
Oleh: Muhammad Nur
(Jurnalis)
TanahRibathMedia.Com—"Menghitung hari, detik demi detik, masa ku nanti apa kan ada" itulah bait lagu menghitung hari yang dipopulerkan oleh Krisdayanti.
Namun kita kali ini menghitung hari pergantian untuk pergantian tahun 2024 ke 2025.
Demokrasi di mata sebagian masyarakat masih menjadi sebuah solusi atas ketidakpastian mereka menjalani hidup. Baik itu muslim atau pun non muslim masih terkesima akan fatamorgana yang muncul dari demokrasi.
Amerika dan sekutunya agaknya merasa malu karena ketidakmampuan mereka menjunjung tinggi nilai-nilai demokrasi yang mereka jajakan di tengah negeri-negeri muslim. Meskipun berbagai kerusakan dan pelanggaran tapi tetap dianggap sebagai sistem pemerintahan yang ideal.
Jadi bagaimana mungkin kaum Muslimin menerima demokrasi. Begitu para cendikiawan dan ilmuwan Muslim yang masih memperjuangkan demokrasi dikehidupan mereka. Telah terpampang secara kasat mata derita saudara-saudaranya di Rohingya, Bangladesh, di Uighur, di Suria, di Gaza dan ditempat lainnya.
Umat Islam jangan sampai jatuh ke lubang biawak lagi untuk kesekian kalinya. Demokrasi itu memiliki beberapa kekeliruan dan kerusakannya yang itu telah dibawa sejak lahirnya sistem pemerintahan demokrasi di masa Renaissance di Eropa. Beberapa kekeliruan demokrasi yaitu:
1. Tyranny of the Majority: Dalam demokrasi dikenal dengan istilah vox populi vox dei, suara mayoritas rakyat sering kali menentukan kebijakan. Tapi kenyataannya suara rakyat sering diabaikan dalam setiap menentukan kebijakan. Wakil rakyat yang katanya merepresentasikan keinginan rakyat malah abai akan suara konstituennya.
Mereka lebih mendengarkan suara konglomerat atau yang sekarang disebut oligarki. Inilah seringnya terjadi perselingkuhan antara penguasa dan pengusaha (oligarki). Sehingga arah kebijakan tersebut lebih menguntungkan para oligarki bukannya mensejahterakan rakyat.
Ketika ini terjadi, penguasa akan dengan mudah bersikap otoritarian. Karena eksekutif, legislatif dan yudikatif sudah berkomplot akhirnya timbullah tirani dan menyebabkan penindasan terhadap kelompok opposisi atau yang bersebrangan yang kemudian hak-haknya tidak selalu diakomodasi atau dihargai.
2. Populisme: Biasanya setahun menjelang pemilihan umum baik itu pemilihan eksekutif atau pun legislatif, terkadang mereka mengucapkan janji-janji kampanye yang bombastis dan rayuan maut kepada massa dan pendukungnya.
Alih-alih terealisasi justru lebih banyak tinggal janji. Sehingga janji kampanye tersebut hanyalah untuk meraih suara dari massa dan pendukung saja. Dan rakyat pun kembali gigit jari atas pilihannya tersebut.
3. Politik Uang (Money Politics): Aktifitas rutin lima tahunan atau pun empat tahunan tidak terlepas dari politik uang. Ada istilah hepeng mangatur nagaraon (uang mengatur negara), tak pelak lagi ini sudah bukan rahasia umum lagi.
Politik demokrasi merupakan politik berbiaya mahal, untuk menjabat level bupati atau walikota saja itu diperkirakan menghabiskan uang miliaran rupiah. Bagaimana level gubernur, legislatif mau pun presiden tentu lebih dalam lagi kocek yang harus dikeluarkan.
Tentu imbasnya keputusan-keputusan politik yang bagaimana dia untuk bisa mengembalikan modal para pemodal dan juga dana dari dirinya. Sehingga aliran uang tersebut berputar di sekitar mereka saja.
4. Politik Identitas: Tak ada yang berbeda ketika musim kampanye telah tiba. Bagi tokoh yang beragama Islam, di balihonya terpajang fotonya menggunakan baju jas yang menampilkan corak keislamannya. Begitu juga yang beragama lain tak jauh berbeda. Dalam kampanyenya isu-isu sensitif yang terkait sara kadang itu dimainkan dalam rangka mendulang suara.
Misalnya baru-baru ini pemilihan presiden Amerika Serikat yang memainkan isu genosida gaza saat kampanye. Namun kita ketahui bagaimana politik luar negeri Amerika terkait persoalan Gaza.
5. Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme: Meski ada mekanisme checks and balances dalam demokrasi, tapi implikasi dari biaya mahal pemilu dalam demokrasi inilah biangnya. Selain itu adanya kongkalikong penguasa dan pengusaha ini juga menumbuhkan praktik korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan. Gratifikasi akan terus muncul walaupun ada mekanisme tender setiap proyek pemerintah.
Adanya kolusi dan nepotisme memberi peluang terciptanya dinasti politik. Indonesia dalam praktek demokrasinya cenderung dinasti politik. Ada yang ditingkat kecamatan, kabupaten, provinsi atau negara dalam hal ini presiden dan wakil presiden.
6. Polarisasi Politik: Defenisi polarisasi politik adalah perbedaan satu orang dengan yang lainnya terkait isu-isu penting. Dalam demokrasi bisa menghasilkan polarisasi yang tajam, di mana kelompok-kelompok politik atau ideologi yang berbeda saling bertentangan dan sulit mencapai kesepakatan atau kompromi, merusak harmoni sosial.
Yang paling tajam adalah kadrun dan kecebong, isu ini hingga hari ini masih ada walaupun tidak lagi memanas seperti pada kampanye pilpres 2014. Artinya konflik horizontal akan terus terjadi karena adanya kepentingan tokoh-tokoh yang ingin berkonstestasi di pemilu.
7. Ketergantungan pada Media mainstream dan Survei: Keikutsertaan media dan lembaga survei sering kali memainkan peran penting dalam membentuk opini publik. Elektabilitas kontestan pemilu secara signifikan berpengaruh dengan adanya media yang terus membranding mereka serta survei yang membuat kuesioner pemilih agar sesuai arah dan tujuan konstestan.
Dampak media tidak independen atau cenderung bias, hal ini dapat mempengaruhi pemilih secara tidak adil dan mengganggu prinsip demokrasi yang mengutamakan kebebasan informasi.
8. Kabinet atau Struktur pemerintahan cenderung gemuk. Partai-partai dalam demokrasi akan berkoalisi bersama penguasa atau kekuasaan menjalankan roda pemerintahan. Sehingga akan berupaya bagaimana menimalisir oposisi harapannya setiap kebijakan pemerintah tiada yang merintangi dan diharapkan program pemerintah berjalan mulus. Tidak perduli menyalahi peraturan atau etika yang berlaku di masyarakat.
9. Tumpang tindih antara wewenang dan job desk. Penegakan hukum dalam sistem demokrasi bisa dikatakan amburadul, sebab wewenang dan job desk antara penegak hukum. Yang paling faktual dan sering diistilahkan cicak buaya adalah Komisi Pemberantasan Korupsi dengan Kepolisian.
Saat putusan perkara pun bisanya berubah saat pengajuan banding. Nah dalam Islam, penegakan hukum tidak berbelit dan jlimet. Malah sederhana dan transparan.
Jadi sembilan point inilah yang menunjukkan kerusakan sistem pemerintahan demokrasi yang sedang berlaku di negeri-negeri Muslim. Sehingga upaya umat Islam dalam upaya menerapkan sistem Islam di negerinya sendiri itu terus dihalangi dan dipersekusi.
Maka kesadaran akan pengetahuan tentang bobroknya demokrasi dan keagungan sistem khilafah, haruslah menjadi perhatian serius kaum Muslimin.
Via
Opini
Posting Komentar