Opini
Berantas L68T, Perda Saja Tidak Cukup!
Oleh: Wiwit Irma Dewi, S.Sos.I.
(Pemerhati Sosial dan Media)
TanahRibathMedia.Com—Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi Sumatera Barat (Sumbar) sedang mengkaji rencana pembentukan peraturan daerah (perda) untuk memberantas penyakit masyarakat terutama lesbian, gay, biseksual, dan transgender (L68T) di Ranah Minang (Republika.co.id, 04-01-2025).
Adanya wacana di atas merupakan salah satu upaya pemerintah daerah Sumbar untuk menekan angka penyakit menular HIV/Aids yang terus meningkat. Tak bisa dimungkiri salah satu penularan penyakit tersebut dikarenakan adanya perilaku menyimpang dari kaum L68T.
Mengutip dari laman republika.co.id (04-01-2025), Kepala Dinkes Kota Padang menyatakan bahwa terdapat 308 kasus HIV di Padang. Dalam temuannya, lebih dari separuh kasus menyerang individu usia produktif yaitu rentang 24 hingga 45 tahun. Perilaku lelaki seks lelaki (LSL) menjadi salah satu penyebab utama meningkatnya angka HIV di Kota tersebut.
Hal ini menjadi sebuah ironi, mengingat Sumbar adalah daerah yang dikenal dengan filosofi "Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah." Mengutip dari detik.com (29-07-2022) maksud filosofi tersebut adalah menjadikan syariat Islam sebagai landasan utama dalam tata pola perilaku dan nilai-nilai kehidupan. Dengan kata lain, Adat Basandi Sarak, Sarak Basandi Kitabullah merupakan kerangka kehidupan sosial baik horizontal-vertikal maupun horizontal-horizontal.
Namun akankah perda berantas L68T yang diwacanakan tersebut memberikan solusi untuk menekan penyebaran penyakit masyarakat ini di tengah masyarakat?
Kenapa LGBT Subur di Negeri Ini?
Maraknya berbagai penyimpangan perilaku seksual di tengah masyarakat seperti L68T semakin lama semakin membuat khawatir. Terlebih, saat ini fenomena L68T seolah semakin dibiarkan bahkan diterima oleh kalangan muda di negeri ini.
Menjamurnya segala macam kemaksiatan, termasuk penyimpangan orientasi seksual salah satunya dikarenakan adanya arus informasi yang begitu pesat di tengah masyarakat. Arus informasi tersebut tidak diiringi dengan adanya filterisasi terhadap konten-konten yang tersebar, baik di media online maupun media massa mainstream. Tengok saja saat ini, bagaimana banyaknya program televisi yang kerap memperlihatkan wanita jadi-jadian, alias laki-laki yang bertingkah layaknya perempuan, atau maraknya para influencer atau seleb sosmed yang notabene berasal dari kalangan L68T.
Alhasil, generasi yang lekat dengan media kini begitu mudah mendapatkan akses untuk menyerap informasi atau pemikiran rusak tersebut. Jika dibiarkan terus-menerus maka hal ini akan dianggap suatu hal yang lumrah. Akibatnya, masyarakat pun akan menormalisasi perbuatan menyimpang ini.
Bukan hanya sekadar “penyakit” menular, L68T juga merupakan arus global yang terus digaungkan ke seluruh di dunia, termasuk negara kita, Indonesia. Ada upaya sistemik dari gerakan L68T sehingga bisa makin eksis. Salah satunya dengan adanya ide kebebasan, di negeri ini kebebasan berekspresi justru dijadikan dalil untuk mereka melakukan sesuatu termasuk L68T.
Meskipun menjadi negara dengan mayoritas muslim terbesar di dunia, namun saat ini Indonesia menganut paham sekularisme liberal yang memisahkan kehidupan dari agama dan menjadikan kebebasan sebagai suatu keniscayaan. Atas dasar hak asasi dan hak seksual reproduksi, penyimpangan tersebut minta untuk diakui, bahkan minta untuk dilindungi.
Sejatinya, L68T merupakan penyimpangan yang tak bisa ditorerir karena telah keluar dari fitrah manusia, norma agama, dan norma susila yang berlaku. Maraknya penyimpangan orientasi seksual L68T juga berkelindan dengan meningkatnya angka penderita HIV/AIDS atau pun penyakit kelamin lainnya. Jika dibiarkan, bukan tidak mungkin lost generation (hilangnya generasi) menjadi sebuah ancaman bagi negeri ini.
Maraknya fenomena L68T juga menjadi bukti bahwa negara dalam sistem sekularisme liberal tidak mampu menjaga akal, kehormatan, dan keturunan di tengah umat. Dalam sistem sekulerisme liberal saat ini, L68T tak dianggap sebuah kriminalitas, melainkan dianggap sebagai hak yang harus dijaga dan hormati. Ini jelas bertentangan dengan syariat Islam.
Maka wajar jika provinsi Sumbar yang memiliki filosofi "Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah" merasa perlu membuat aturan guna memberantas L68T. Tentu saja wacana adanya Perda tersebut merupakan wacana yang sangat baik. Namun hal ini tidak akan efektif. Buktinya, sudah banyak perda Syariah yang dibuat dan diberlakukan di beberapa daerah tapi terus menerus dipermasalahkan pihak pihak tertentu.
Bahkan ada juga yang dibatalkan oleh pemerintah pusat karena dianggap bertentangan dengan kebijakan pemerintah pusat. Apalagi dalam sistem demokrasi sekuler saat ini, Syariat Islam bukan menjadi landasannya, melainkan HAM. Bagi mereka, tidak ada tempat bagi penerapan syariat Islam Kaffah. Maka jelas sudah bawah sistem sekuler saat ini justru banyak melahirkan dan menumbuhsuburkan kemaksiatan di tengah masyarakat.
Yang perlu kita garis bawahi, asas yang batil tidak akan mampu memberikan solusi tuntas atas segala permasalahan manusia, terlebih landasan hukum yang digunakan saat ini lahir dari akal manusia yang lemah.
Tak bisa dimungkiri Islam telah mengatur berbagai interaksi sosial manusia, termasuk hubungan dengan sesama ataupun lawan jenis. Dalam syariat Islam terdapat aturan-aturan dan seperangkat sanksi yang siap diberlakukan kepada para pelanggar Syariat termasuk pada prilaku liwath (homo seksual/penyuka sesama jenis).
Syariat Islam Memutus Mata Rantai L68T
Upaya pemerintah daerah Sumbar yang mewacanakan adanya Perda untuk memberantas L68T tentu patut kita acungi jempol, namun Perda saja saja tidak cukup. Negeri ini butuh undang-undang yang lebih tegas dalam melarang segala aktivitas berbau L68T untuk memutus mata rantai penyebaran penyimpangan orientasi seksual tersebut. Bukan saja pada level daerah melainkan harus diterapkan pada level negara sebagai otoritas tertinggi.
Apa yang dibawa Kaum L68T dengan segala aktivitas nya merupakan sebuah ide yang dapat merusak umat. Yang perlu dipahami, sudah seharusnya negara untuk menuntaskan akar permasalahan L68T ini. Maka, mendudukkan sudut pandang mengenai L68T berdasarkan Islam menjadi hal yang penting, terlebih kita sebagai negara dengan mayoritas muslim terbesar.
Harus ada campur tangan dari para pemangku kebijakan (dalam hal ini pemerintah pusat), yang memiliki peran praktis untuk menutup keran L68T ataupun kemaksiatan lainnya. Dengan begitu, umat pun bisa terselamatkan. Hanya saja, kebijakan yang berpihak pada kemaslahatan umat di dunia dan akhirat tidak akan terealisasikan, selama negara ini masih merujuk dan berpijak pada sistem sekuler liberal.
Beda hal nya dengan negara yang berdasarkan sistem Islam (Khilafah). Khilafah akan menerapkan hukum syariat secara menyeluruh. Khilafah akan menjadikan syariat Islam sebagai dasar dalam membuat segala kebijakan. Tak ada istilah pemisahan agama dari kehidupan seperti dalam sekularisme, apalagi paham kebebasan berekspresi (bertingkah laku). Sebab, Islam mengatur seluruh aspek kehidupan manusia. Oleh sebab itu, negara Islam wajib menerapkan syariat secara kafah (keseluruhan).
Selain itu, para ulama telah sepakat bahwa hubungan sejenis atau homoseksual atau L68T hukumnya haram. Oleh karena itu, negara Khilafah tentu tidak akan memberikan kesempatan bagi para pelaku penyimpangan orientasi seksual tersebut. Negara Khilafah akan melakukan filterisasi terhadap konten-konten yang disiarkan oleh media (baik oleh media elektronik maupun media sosial).
Adapun dalam negara Khilafah konten yang akan disiarkan oleh media merupakan konten-konten yang tidak melanggar dan tidak bertentangan dengan hukum syarak, konten yang disiarkan haruslah konten yang mampu mencerdaskan dan membangun suasana keimanan di tengah masyarakat.
Di sisi lain, ketakwaan akan menghiasai individu dan masyarakat dalam negara Khilafah. Ketakwaan yang tinggi ini, akan menuntun mereka melakukan amar makruf nahi munkar. Hal ini bisa menjadi faktor yang menekan terjadinya tindak kemaksiatan di tengah masyarakat.
Negara Khilafah juga akan memberlakukan hukuman bagi para pelaku L68T. Hukumannya berupa hadd dan/atau ta’zir sebab termasuk ke dalam bentuk jarimah (kejahatan). Islam akan serius dan tidak main-main dalam menangani kasus kejahatan.
Di sisi lain, sanksi yang diterapkan dalam Islam berfungsi sebagai jawabir atau penghapus dosa bagi para pelaku kejahatan, sekaligus sebagai jawazir yang memberikan efek jera bagi orang lain, dengan begitu efek ini akan menjadi wasilah pencegah terjadinya tindak kejahatan yang serupa. Demikianlah cara Khilafah mampu menyelesaikan permasalahan L68T di tengah umat.
Dengan penerapan Islam secara menyeluruh, negara Khilafah akan menjalankan fungsinya sebagai junnah (perisai) yang akan menjaga dan melindungi umat dari segala racun pemikiran yang merusak dan berbahaya. Negara Khilafah akan berupaya semaksimal mungkin menjamin hak-hak syar’i yang dimiliki manusia menurut hukum syarak. Namun, sekali lagi, semua itu hanya akan bisa diwujudkan ketika Islam diterapkan secara sempurna dalam institusi Khilafah Islamiyah.
Wallahu a'lam bi ash-shawab.
Via
Opini
Posting Komentar