Sastra
Enom Meneh
Oleh: Nursalamah
(Tim Redaksi Tanah Ribath Media)
TanahRibathMedia.Com—"Ayah, pagi ini mau ke kelurahan ya?" tanyaku dengan mode santai. Masih dengan handuk di pundakku karena baru selesai mandi.
"Iya," jawabnya singkat dengan ekspresi datar.
"Kami boleh ikut?" tanyaku kembali kepada sosok yang masih sibuk membuatkan teh untuk anak-anaknya.
Sebenernya aku sudah mengetahui jadwalnya pagi ini hendak pergi ke kelurahan untuk menyelesaikan pengurusan berkas RS. Sebagai pelengkap bumbu komunikasi untuk mencairkan suasana yang agak sedikit dingin. Sedingin cuaca Batam waktu itu.
"Boleh, ayolah!" jawaban sudah mulai antusias.
Aku bergegas ganti baju dan mengenakan jilbab dengan motif bunga yang tergantung di balik pintu kamar.
Seketika terbesit dalam benakku untuk memakai kerudung pashmina warna hitam yang baru saja dibeli beberapa waktu lalu. Aku pikir oke saja, karena hitam adalah warna netral yang bisa dipadu dengan warna apapun.
"Cantik enggak, Yah?" tanyaku sedikit malu-malu.
"Heemmmm, jilbabnya terlalu ramai," ucapnya sembari memandangiku dari ujung kepala sampai ujung kaki.
Ada perasaan malu dan bahagia membuatku sedikit salah tingkah. Seperti remaja pertama kali jatuh cinta. Eea...
Akhirnya aku cari jilbab lagi tanpa motif alias polos warna ungu. Kebetulan ada hiasan kancing depan warna hitam. Menurutku sudah oke. Kemudian aku panggil sosok lelaki berkulit putih dan berambut ikal itu kembali, yang belum juga selesai urusan membuat tehnya.
Memang di keluarga kami terbiasa dengan teh tubruk, sehingga agak sedikit ribet dalam pembuatannya. Tapi memang menurut kami lebih nikmat.
"Ayah..., kalau ini bagaimana? Cantik tidak?" tanyaku dengan penuh percaya diri. Karena menurutku sudah memadukan warna yang pas.
"Pakai jilbab Naila aja kalau enggak. Warnanya lebih cerah," ucapnya mantab sambil menunjuk jilbab anak gadis yang tergantung di jendela depan.
Tanpa bantahan , aku turuti titah sang pangeran. Langsung aku ambil jilbab tersebut dan aku pasangkan kerudung pashmina warna hitam. Setelah selesai, berkali-kali aku pandangi cermin di depanku. Dengan membolak-balikkan badan.
"Kayaknya aku tampak lebih muda," gumamku dalam hati sambil terus bercermin.
Sesaat kemudian, tanpa kupanggil, lelaki yang telah meminangku 18 tahun lalu tetiba nongol di depan pintu kamar. Belum ada kata terucap. Dengan tatapan seperti orang yang sedang jatuh cinta, seakan aku merasakan getaran itu.
Aku membalas tatapan itu dengan senyum penuh cinta.
"Ketok enom meneh bojoku. Cantik," ucapnya dengan tatapan lembut.
Perasaan bahagia itu begitu menggelora dalam jiwaku. Serasa terbang ke angkasa. Ingin rasanya aku peluk dia dan berteriak "Uhibbuka fillah ya zauji". Tapi tidak mungkin aku lakukan. Karena ada krucil yang sudah berteriak ingin segera berangkat. Akhirnya salto dalam hati. Hehe.
Selesai
***
Via
Sastra
Posting Komentar