Straight News
INDEF: APBN Indonesia, 79 Persen dari Pajak
TanahRibathMedia.Com—Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Dr. Rizal Taufiqurrahman,
menyampaikan bahwasanya struktur fiskal di negeri ini, komposisi pemasukan APBN berasal dari pajak hampir 79 persen.
"Apalagi, kalau kita lihat dari struktur fiskal kita, bahwa komposisi penerimaan negara itu, terakhir data tahun 2023, yang berasal dari pajak sebanyak 78.5 persen hampir 79 persen," ucapnya dalam acara Fokus to the Point: PPN 12 %, Untuk Siapa? Pada Ahad (22/12/24) di kanal YouTube UIY Official.
APBN yang bersumber dari pajak, katanya, seperti Pajak Penghasilan (PPh), Pajak Pertambahan Nilai (PPN), Cukai, Ekspor, Impor, kemudian Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), dan lain sebagainya. Sedangkan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) sekitar 21, 5 persen atau 22 persen.
Menurutnya jika pemerintah mengandalkan PNBP akan stagnan. "Nah, nampaknya pemerintah kalau mengandalkan PNBP, melihat potensi stagnan," ujarnya.
Rizal menyebutkan sumber PNBP, yaitu mengelola sumber daya ekonomi atau sumber daya alam, baik basisnya sumber daya alam pertanian, perikanan, kelautan, maupun maritim, dan juga pertambangan. Sedangkan di tahun 2025 ini, beberapa komoditas unggulan ekspor (CPO) dari perkebunan mengalami penurunan. Kemudian, tambang yang selama ini mempunyai nilai besar atau nilai tinggi, sudah mengalami over supply, terutama nikel dan harga juga turun.
"Sehingga dianggap tidak prospek," imbuh Rizal.
Ia menuturkan, bahkan fiskal di tahun 2025, ditargetkan PNBP sekitar 600 triliun, dan pajak itu hampir 3000 triliun. Nah tentu tidak ada lagi potensi yang cepat, untuk menjadikan sumber penerimaan negara, terkecuali dari pajak.
"Nah, mungkin pemerintah melihat kalau PPh biasanya ada lag 1 tahun, cukai, ekspor, impor, dan PBB biasanya ada delay penerimaannya, tapi yang cepat itu adalah PPN. Sekarang ini, hampir 35 persen sumbangan terhadap penerimaan pajak, yang hampir 79 persen itu," jelasnya.
Pemerintah, terang Rizal, nampaknya mengambil keputusan untuk menaikkan PPN 12 persen, selain dari segi fiskal yang terbatas, diperparah dengan banyak program strategis nasional dari pemerintahan baru ini, yang notabene membutuhkan biaya besar, dengan sifat bansos. Misalnya program MBG, perbaikan infrastruktur pendidikan, kesehatan, yang notabene directly (diharapkan langsung ke masyarakat).
Terakhir, ia mengatakan bahwa anggaran di tahun 2025 sangat ketat, sehingga negara membutuhkan tambahan penerimaan.
"Sedangkan anggarannya sepertinya sangat ketat di tahun 2025. Tentu, membutuhkan tambahan penerimaan negara di tahun 2025 ini. Di sisi lain, berdasarkan UU No. 7 tahun 2021 berkaitan dengan Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP), di mana amanahnya itu, bahwa 1 April tahun 2022 PPN naik menjadi 11%, dan bergulir di tahun 2025," pungkasnya.[] Novita Ratnasari
Via
Straight News
Posting Komentar