Opini
Kapitalisme: Ketika Pajak Jadi Penopang Utama
Oleh: Salsabila Isfa Ayu K
(Sahabat Tanah Ribath Media)
TanahRibathMedia.Com—Isu kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) 12 persen menjadi prahara di 100 hari pertama masa Presiden Prabowo Subianto. Berbagai kritik dan protes terus bermunculan sejak Menteri Keuangan Sri Mulyani memberikan sinyal bahwa kenaikan PPN 12 persen adalah pilihan demi menjaga kesehatan APBN.
Sejumlah pakar ekonomi memberikan kritik tajam terkait kebijakan kenaikan PPN 12 persen. Pengamat ekonomi yang juga Wakil Direktur Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Eko Listyanto, menilai kenaikan pajak PPN 12 persen akan berdampak pada naiknya harga barang dan jasa yang akan memicu inflasi. Hal ini berpotensi menurunkan stabilitas ekonomi, terutama kondisi ekonomi negara yang baru saja menghadapi tantangan ekonomi akibat pandemi. Selain itu kenaikan harga barang dan jasa akan menjadi beban konsumen yang akan berpengaruh pada menurunnya daya beli masyarakat. Hal ini bisa mengarah pada penurunan konsumsi rumah tangga, yang merupakan salah satu pendorong utama pertumbuhan ekonomi.
Meskipun mendapat banyak kritikan dari para pakar, nyatanya pemerintah tetap menaikkan tarif PPN 12 persen per tanggal 1 Januari 2025. Kebijakan tersebut diumumkan pada 16 Desember 2024. Pengumuman itu menyulut protes publik yang semakin meluas, berbagai lapisan masyarakat turun ke jalan untuk berunjuk rasa. Gelombang penolakan terus bermunculan baik di dunia nyata maupun dunia maya. Warganet mulai gencar bersuara lewat media sosial. Petisi agar pemerintah segera membatalkan kenaikan pajak mendulang banyak dukungan.
Setelah mendapati respon masyarakat yang menolak keras. Akhirnya pada 31 Desember 2024 malam, beberapa waktu sebelum rencana penerapan kenaikan PPN, Prabowo mengumumkan bahwa kenaikan PPN 12 persen berlaku terbatas untuk barang mewah.
Barangkali kebijakan itu cukup melegakan rakyat, karena harga barang dan jasa tidak jadi naik bersamaan di tahun 2025. Namun realisasi kenaikan PPN akan terus membayangi masyarakat di masa depan. Bagaimana tidak? Bagi negera berkembang, PPN menjadi sumber pendapatan yang relatif stabil dan luas. PPN merupakan pajak konsumsi yang dikenakan hampir semua barang dan jasa. Oleh karena itu kenaikan PPN dinilai menjadi opsi yang cukup adil. Karena seluruh lapisan masyarakat melakukan aktivitas konsumsi.
Namun siapa yang paling dirugikan dalam penerapan kenaikan PPN? Mereka adalah masyarakat yang berpenghasilan menengah ke bawah. Tak heran, jika pajak konsumsi seperti PPN dinilai regresif. Akan sangat memberatkan masyarakat miskin yang berpenghasilan menengah ke bawah. Mereka pasti menghabiskan sebagian besar penghasilannya untuk kebutuhan pokok, yang semuanya dikenakan pajak. Dan menjadikan beban merekan semakin berat, dengan kondisi perekonomian yang semakin sulit.
Ironi, di negeri dengan sumber daya alam yang melimpah ruah, tapi kondisi masyarakatnya jauh dari sejahtera. Kesenjangan dan ketimpangan ekonomi menjadi masalah yang tak berkesudahan. Kondisi ini tidak terlepas dari negara yang menganut sistem kapitalisme. Dalam kapitalisme, pajak menjadi sumber pendapatan utama bagi negara. Sebab dalam negara kapitalisme, pemerintah tidak banyak mengelola bisnis. Pengelolaan sumber daya alam sebagian besar dikelola oleh perusahaan swasta, bukan pemerintah. Sehingga pemerintah tidak mendapatkan banyak keuntungan dari hasil pengelolaan SDA, melainkan dari pajak.
Peran pemerintah adalah sebagai regulator, tak heran dalam negara kapitalisme korporasi besar memiliki kekuatan besar untuk memengaruhi kebijakan pemerintah demi keuntungan mereka, misalnya melalui pelonggaran regulasi atau pemberian insentif pajak. Lagi-lagi, sangat mungkin pajak yang dikumpulkan tidak selalu digunakan untuk kepentingan rakyat banyak, melainkan untuk proyek-proyek yang lebih menguntungkan kelompok elit atau perusahaan besar.
Itulah, realitas ketika hidup dalam kungkungan sistem kapitalisme. Kesejahteraan dan kekayaan hanya berpusat pada segelintir orang, para pemilik modal. Masyarakat miskin hanyalah sapi perah yang di manfaatkan untuk kenikmatan mereka.
Lain halnya, ketika negara menerapkan sistem pemerintahan Islam (Khilafah). Dalam Islam pajak dikenal dengan sebutan dharibah, yang konsep penerapannya tidak sama dengan hari ini. Pajak bukan menjadi sumber pendapatan utama bagi negara, ia hanya dipungut dalam keadaan darurat atau sementara. Ketika kas negara (Baitul Mal) tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan yang mendesak.
Dalam pemungutannya pun tidak dibebankan kepada seluruh rakyat, melainkan hanya bagi orang orang mampu yang memiliki kelebihan harta setelah kebutuhan pokok dan sekunder mereka terpenuhi. Pajak juga tidak dikenakan pada barang-barang konsumsi dasar, sehingga tidak membebani masyarakat miskin. Negara juga akan memberhentikan pemungutan pajak, apabila kas negara (Baitul Mal) sudah terpenuhi.
Selain itu, negara khilafah akan fokus pada pengelolaan sumber daya alam yang strategis, seperti tambang minyak, gas, dan hasil hutan, dikelola langsung oleh negara sebagai milik umum. Hasil pengelolaannya digunakan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat dan kesejahteraan masyarakat.
Maka sistem Islam yang berasal dari wahyu Allah adalah satu satunya solusi untuk permasalahan umat hari ini. Sistem Islam telah dirancang untuk memastikan kesejahteraan rakyat dan menjaga keadilan ekonomi, tanpa membebani masyarakat miskin atau menciptakan ketimpangan seperti yang sering terjadi dalam kapitalisme.
Semoga fajar kebangkitan Islam makin dekat, dan khilafah akan tegak menjadi institusi yang memberikan kesejahteraan bagi umat manusia.
Wallahu'alam Bi showwab.
Via
Opini
Posting Komentar