Opini
Kenaikan PPN 12 Persen: Tidak Berpihak kepada Rakyat
Oleh: Yuni Oktaviani
(Aktivis Muslimah, Pegiat Literasi, Pekanbaru-Riau)
TanahRibathMedia.Com—Berita akan kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebesar 12 persen cukup membuat masyarakat terkejut dan panas. Pasalnya, kepemimpinan Presiden terpilih, Prabowo Subianto baru dalam hitungan bulan. Terlebih, kenaikan pajak merupakan isu yang sangat sensitif dan dapat berdampak pada kenaikan barang-barang lainnya.
Meskipun pemerintah mengatakan bahwa PPN 12 persen hanya berlaku untuk barang-barang mewah, namun apakah realitas harga barang-barang kebutuhan pokok tidak terkena imbasnya? Mengapa pemerintah begitu ngotot untuk menaikkan pajak ini? Bagaimana Islam memandangnya?
Dilansir dari kompas.co.id (03-01-2025), meski semestinya kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai hanya berlaku untuk barang mewah, sejumlah barang dan jasa tetap ikut terdampak tarif PPN 12 persen. Kenaikan pungutan pajak itu terjadi atas sejumlah barang dan jasa yang sehari-hari cukup sering diakses masyarakat.
Dampak Kenaikan Pajak
Tahun 2025 dibuka dengan kenaikan pajak sebesar 12 persen. Pemerintah mengklaim bahwa pajak tersebut hanya berlaku untuk barang-barang mewah. Benarkah?
Faktanya barang-barang lain termasuk kebutuhan pokok pun juga ikutan naik. Inilah bukti bahwa pungutan PPN 12 persen juga turut berpotensi menaikkan harga-harga barang lainnya.
Mirisnya, pemerintah tidak akan mampu untuk mengendalikan pasar, baik berupa barang maupun jasa. Hal ini terjadi karena negara ini pasarnya berasazkan liberal yang sulit untuk dikendalikan
Pelaku usaha tentu memilih bermain dengan cara aman seperti turut menaikkan harga jual produknya untuk menutupi pengeluaran yang bertambah akibat PPN 12%. Demikian pula, lapangan pekerjaan yang akan semakin dibatasi akibat lemahnya industri dan rendahnya konsumsi masyarakat karena menurunnya pemasukan.
Dapat dipastikan bahwa target pemerintah untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi sebanyak 5,2 persen pada APBN diibaratkan bagai pungguk merindukan bulan. Karena kenaikan PPN meskipun hanya 1 persen, tetapi memberi dampak yang amat besar dan beresiko tinggi. Yang dipertaruhkan tentu saja masyarakat kecil, bukannya orang-orang kaya. Padahal pemerintahannya baru, tapi wong cilik kok tidak terbantu?
Pajak Menyengsarakan Rakyat
Di bawah sistem berideologikan demokrasi atau kapitalisme liberal, pajak merupakan sumber pemasukan negara yang utama. Tidak mengherankan jika semua bidang kehidupan di sistem ini dikaitkan dengan pajak. Parahnya, semua masyarakat dikenakan pajak, mau miskin, ataupun kaya. Justru perlakuan untuk pajak di negara ini ibarat pisau tajam ke bawah tumpul ke atas.
Masyarakat lemah dibebankan dengan berbagai pajak, sementara yang kaya bisa lolos dengan banyaknya jenis tax amnesty ataupun suap yang dilakukan kepada aparatur pemerintah yang menangani pajak. Sehingga, selain memberatkan, pungutan pajak sudah pasti bukan kebijakan yang adil dan memihak rakyat kecil.
Belum lagi kondisi pemerintahan sistem kapitalisme yang membuka peluang untuk terjadinya korupsi terhadap aliran dana pajak yang masuk. Bukannya ke APBN, dana pajak malah masuk ke kantong pribadi oknum aparat pemerintah. Hal ini semakin diperparah dengan UU pidana yang tidak memberi efek jera terhadap pelaku korupsi di negara ini.
Meskipun merugikan negara, pelaku hanya dihukum ringan dipenjara dengan denda yang terbilang kecil. Lagi-lagi, ketika para pelaku korupsi ini mampu memberikan suap kepada lembaga peradilan terkait, maka hukuman pun bisa dikompromikan.
Pemimpin yang dielu-elukan mampu untuk bersikap tegas dan adil justru menambah-nambah beban rakyat dengan kebijakan terkait kenaikan PPN 12 persen, di mana membuat rakyat semakin terhimpit perekonomiannya. Bagaimana mau sejahtera?
Ideologi Islam sebagai Pengayom Umat
Di dalam Islam, aturan mengenai pajak dan kebijakan negara dalam mengurus kepentingan rakyatnya sangat lah jelas atau transparan. Selain mengatur tentang ibadah ruhiyah, Islam juga mengatur sumber pemasukan negara dan syarat pemimpin yang mampu menjalankan amanahnya dalam sebuah negara.
Negara yang diatur oleh ideologi Islam tidak akan memungut pajak kecuali bagi kafir dzimmi yang mendapat perlindungan oleh negara. Kewajiban pajak ini pun hanya berlaku apabila kafir dzimmi merupakan orang yang mampu secara ekonomi. Pajak juga hanya dipungut apabila kas negara mengalami defisit, seperti yang terjadi pada masa-masa tertentu atau masa panceklik. Maka, pajak akan dipungut oleh negara kepada orang-orang kaya saja.
Artinya, pungutan pajak sifatnya hanya temporal bagi rakyat ketika negara memerlukannya, dan tidak akan sampai membebani kehidupan rakyatnya. Ditambah lagi, pemasukan Negara tidak bersumber dari pajak, melainkan dari kepemilikan umum, seperti sumber daya alam berupa hasil tambang, hutan, laut, dan lain-lain.
Islam justru melarang pungutan pajak maupun pungutan-pungutan lainnya karena itu merupakan bentuk kezaliman, sebagaimana Rasulullah Saw. bersabda, "Tidak akan masuk surga pemungut pajak (cukai)." (HR. Ahmad, ad-Darimi, dan Abu Ubaid).
Demikian pula Islam sangat mementingkan sosok pemimpin yang mampu mengayomi urusan rakyat. Pemimpin sebuah negara yang berideologikan Islam haruslah pribadi yang mampu, bertakwa kepada Allah, dan amanah dalam mengurusi urusan rakyat.
Negara melidungi dan memenuhi hak-hak rakyat yang merupakan tugas berat yang mesti diemban oleh seorang pemimpin. Karena semua akan dipertanggungjawabkan di hadapan Allah Subhna wa Ta'ala.
Selain kewajiban memilih pemimpin yang adil, amanah, dan bertakwa kepada Allah, tentu perubahan sistem juga tidak kalah penting.
Sudah saatnya sistem pemerintahan kapitalis liberal saat ini diganti dengan sistem bernegara yang aturannya langsung dari Sang Khalik, pemilik kehidupan, yakni sistem pemerintahan Islam di bawah naungan aulah khilafah.
Wallahu a'lam bis shawab.
Via
Opini
Posting Komentar