Opini
Kenaikan PPN dan Bukti Kezaliman Sistem Kapitalis
Oleh: Asti
(Sahabat Tanah Ribath Media)
TanahRibathMedia.Com—Salah satu berita hangat yang sedang dibicarakan akhir-akhir ini adalah kenaikan pajak pertambahan nilai (PPN) dari 11 persen menjadi 12 persen. Menariknya, beberapa jam sebelum tahun baru 2025, Presiden Prabowo mengumumkan bahwa PPN tidak jadi naik.
Dikatakan bahwa ini adalah hadiah awal tahun dari Presiden untuk rakyat. Kenaikan PPN hanya berlaku untuk barang mewah saja, seperti pesawat jet pribadi, kapal pesiar, dan rumah dengan nilai fantastis. Pemerintah juga menekankan agar masyarakat tidak perlu khawatir karena pemerintah akan terus berupaya menyejahterakan masyarakat dan mewujudkan Indonesia yang semakin maju (lampungmediaonline.com, 7-1-2025).
Sayangnya, meskipun pemerintah meyakinkan bahwa PPN 12 persen hanya untuk barang mewah, fakta di lapangan menunjukkan harga-harga barang lain tetap naik. Hal ini terjadi karena adanya ketidakjelasan di awal, barang apa saja yang akan terkena PPN 12 persen. Akhirnya, penjual memasukan PPN 12 persen pada semua jenis barang. Ketika harga terlanjur sudah naik, tentu tak bisa lagi dikoreksi, meski aturan menyebutkan kenaikan PPN hanya untuk barang mewah saja.
Berita pembatalan kenaikan tarif PPN menjadi 12 persen harusnya menjadi berita gembira bagi masyarakat. Sayangnya, ternyata kita terlalu cepat bergembira. Pasalnya, jika dicermati lagi, sebetulnya kenaikan PPN tersebut bukan tidak jadi dilakukan, tetapi lebih tepatnya ditunda pemberlakuannya. Faktanya, kenaikan tarif PPN sudah diatur dalam Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP).
Sebelumnya, tarif PPN sebesar 10 persen telah berlaku beberapa lama, kemudian tarifnya naik menjadi 11 persen, dan rencananya per tanggal 1 Januari 2025 akan naik lagi menjadi jadi 12 persen, tapi ternyata ditunda. Jika sebuah peraturan sudah dimasukan ke dalam perundang-undangan, maka pernyataan presiden saja tidak cukup untuk membatalkannya, diperlukan pula persetujuan dari DPR selaku lembaga legislatif untuk membatalkan undang-undang tersebut.
Berbicara terkait kebijakan pajak di Indonesia, maka akan makin jelas memperlihatkan profil penguasa saat ini yang populis otoritarian. Pemerintah seolah bekerja untuk kepentingan rakyat, sayangnya pemerintah hanya menjadikan rakyat sebagai alat untuk mendukung kebijakan yang hanya memperkaya oligarki. Kebijakan penundaan kenaikan pajak ini seolah menjadi lagu nina bobo bagi rakyat, apalagi dikatakan bahwa pemerintah sedang menyiapkan subsidi untuk melindungi daya beli masyarakat. Padahal, kenaikan PPN menjadi 12 persen tinggal menunggu ketok palu saja. Saat PPN naik, otomatis beban masyarakat juga akan semakin berat. Negara tampak berusaha untuk cuci tangan dari tugas pengurusan rakyat. Padahal kalau kita teliti lagi, tanpa mengandalkan pajak pun negara kita punya potensi pemasukan lain yang jauh lebih besar.
Indonesia adalah negara yang sudah Allah anugerahi dengan kekayaan sumber daya alam yang melimpah. Lautnya luas, hasil alamnya melimpah, tanahnya subur, kekayaan tambangnya banyak, dsb. Seharusnya, dengan kekayaan yang sangat banyak itu, rakyat Indonesia bisa hidup dengan sejahtera. Sayangnya, sistem kehidupan yang kita pakai sekarang memastikan hal itu tidak akan pernah terjadi.
Saat ini, kita hidup dalam sistem demokrasi kapitalisme. Sistem ini menjadikan sebagian besar sumber daya hanya dikuasai segelintir orang saja. Yang kaya makin kaya, yang miskin makin miskin menjadi istilah yang sudah tidak asing lagi didengar. Singkatnya, ini semua terjadi karena kita menerapkan sistem demokrasi kapitalis, sistem sekuler buatan manusia bukan sistem Islam. Padahal, Islam telah memiliki aturan kehidupan sempurna bagi seluruh aspek kehidupan. Islam telah mewajibkan penguasa berperan sebagai raa'in yang benar-benar mengurus masyarakat, sesuai dengan aturan Islam.
Islam telah menjamin pemenuhan kebutuhan dasar masyarakat. Islam juga memiliki aturan kepemilikan yang jelas, sehingga tidak ada lagi istilah penguasaan kekayaan negara oleh segelintir orang. Memang, Islam juga mengenal istilah pajak, hanya saja pajak dalam Islam hanya dipungut saat darurat saja, saat kas negara kosong. Pajak dipungut pada orang kaya saja,dan sifat penarikannya temporer.
Negara tidak mengandalkan pajak sebagai pemasukan utamanya. Hal ini tentu jauh berbeda dengan kondisi saat ini. Negara dalam kapitalis justru malah mengandalkan pajak untuk pemasukan negaranya, sedangkan kekayaan sumber daya alam malah diberikan kepada segelintir orang, atau diberikan kepada asing. Artinya, penerapan Islam yang sempurna dalam seluruh aspek kehidupan menjadi hal yang sangat urgen untuk segera dilakukan.
Wallahu’alam bi showab.
Via
Opini
Posting Komentar