Opini
Niat Cari Kerja Berujung Jadi Korban Human Trafficking, Bukti Buruknya Kapitalisme
Oleh: Hesti Nur Laili, S. Psi.
(Sahabat Tanah Ribath Media)
TanahRibathMedia.Com—Jagat maya dihebohkan oleh beredarnya sebuah video seorang pria bernama Agung Hariyadi (25) yang mengaku telah dijebak dan dijual di Phnom Penh, Kamboja. Video yang beredar sejak Rabu, 25 Desember 2024 lalu itu menampakkan pengakuan pria asal Tanjung Pinang, Kepulauan Riau itu yang mengungkapkan bahwa dirinya telah disekap selama berhari-hari dan pasport miliknya ditahan.
Menurut pengakuan Agung, ia menjadi korban agen tenaga kerja berawal dari tawaran janji bekerja di perkebunan sawit atau kilang minyak di Malaysia dengan bayaran puluhan juta rupiah. Namun janji tinggallah janji, pria berkacamata ini justru dijual dan dipekerjakan paksa sebagai admin judi online di Kamboja. Tak hanya disekap, Agung juga mengaku bahwa dirinya disiksa, tidak diberi makan dan minum, hingga dipaksa membayar denda besar jika ingin kembali ke Indonesia (Batam.tribunnews.com, 26-12-2024).
Tak hanya Agung, menurut data Balai Pelayanan Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (BP3MI) tercatat sebanyak delapan orang WNI terlapor masih ada yang terjebak di Kamboja hingga hari ini maupun pernah sempat terjebak di negara itu. Delapan orang tersebut berasal dari Tanjung Pinang, Batam, dan Tanjung Balai Karimun. Para pria yang terjebak ini berusia di bawah 30 tahun dan bisa terjebak lantaran iming-iming gaji besar di luar negeri (Batampos.co.id, 29-12-2024).
Agung dan delapan WNI yang masih dalam proses pemulangan ini salah satu dari sekian warga yang mengaku bernasib sama. Hal ini tentu saja menambah daftar panjang permasalahan tenaga kerja Indonesia di luar negeri, hanya karena tergiur gaji besar. TKI atau TKW yang mendapatkan penyiksaan, berurusan dengan hukum, maupun terlibat dalam jaringan human trafficking.
Melihat fenomena seperti ini, sungguh sangat menyayat hati. Mendengar alasan para korban yang mengaku tergiur dengan gaji besar di luar negeri ini, makin menambah terbukanya sisi bobrok negara kita yang tidak mampu menyediakan lapangan pekerjaan secara luas dan dengan gaji yang layak. Bagaimana tidak? Bahkan kasus-kasus seperti ini terus saja berulang. Kasus tindak pidana perdagangan orang (TPPO) masih terus marak. Bahkan fenomena ini seperti gunung es jika merujuk data kasusnya yang kian bertambah dari tahun ke tahun.
Pada 2022 saja pihak berwajib melaporkan bahwa terdapat 668 kasus perdagangan manusia. Sementara di tahun 2023 Polri telah menangani 1.061 kasus TPPO dengan jumlah korban mencapai 3.363 orang. Lalu pada 2024 periode Januari-Juli saja Kemenko PMK melaporkan sebanyak 698 orang menjadi korban. Ini benar-benar sangat menyayat hati. Bagaimana bisa, negeri dengan kekayaan alam yang melimpah ini, rakyatnya bisa terjebak sebagai korban human trafficking lantaran iming-iming gaji besar di luar negeri? Apalagi jika bukan karena ada yang salah dengan sistem pengelolaan di negeri ini.
Menurut Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI), maraknya kasus human trafficking ini adalah akibat kebijakan pemerintah yang terkesan lemah terhadap para pelaku human trafficking, seperti yang tertuang dalam UU 18/2017 misalnya, yang menetapkan hukuman pelaku TPPO lebih ringan, karena tidak ada ancaman hukuman minimal. Selain itu, di dalam UU tersebut juga tidak tertulis mengenai kewajiban restitusi bagi pelaku yang tentu saja hal itu sangat merugikan korban TPPO. Hukuman pada pelaku juga seringnya hanya berupa denda, pemecatan, atau pencabutan izin usaha yang mana hal tersebut sangat tidak sepadan dengan apa yang dialami oleh korban. Dan kondisi ini pun diperparah dengan lambannya aparat dalam memproses setiap aduan dari masyarakat mengenai dugaan praktik TPPO.
Belum lagi minimnya edukasi ke masyarakat tentang pentingnya sikap mawas diri terhadap informasi-informasi lowongan pekerjaan ke luar negeri dengan iming-iming gaji besar, membuat banyak masyarakat terjebak dalam kasus ini dan terus menerus bertambah kasusnya dari waktu ke waktu.
Dan tidak cukup sampai di situ. Sulitnya mencari pekerjaan dengan gaji yang layak, makin melambungnya harga-harga bahan pokok, sulitnya masyarakat bisa memenuhi kebutuhan sandang, pangan dan papan mereka, hingga mahalnya fasilitas kesehatan dan pendidikan, menambah daftar panjang faktor penyebab mengapa banyak warga negara kita yang terjebak dalam jaringan TPPO.
Inilah wajah asli dari buruknya sistem kapitalisme. Negara dalam sistem ini hanya sebagai regulator bagi swasta dan asing untuk mengelola segala kekayaan alam, sementara rakyat tak secuil pun mendapatkan hasil daripada kekayaan alam tersebut. Maka tak heran jika lapangan pekerjaan menjadi sempit, lantaran negara tidak berperan seperti seharusnya dalam menjaga kemaslahatan rakyat. Hasil pengelolaan SDA tersebut hanya masuk ke kantong swasta dan para pejabat saja. Sementara rakyat hanya menerima imbas dari rusaknya lingkungan akibat pengerukan SDA dengan cara ugal-ugalan.
Kesulitan hidup di negeri sendiri inilah yang pada akhirnya membuat rakyat mudah untuk tergiur iming-iming gaji besar di luar negeri, karena secara manusiawi ingin keluar dari kemiskinan dan bisa memenuhi kebutuhan sandang, pangan serta papannya, termasuk kebutuhan akan pendidikan dan kesehatan yang mana sampai detik ini tidak ditanggung oleh negara.
Adapun solusi untuk menghentikan kasus human trafficking seperti ini, tentu tidak bisa hanya dengan sistem yang diterapkan hari ini. Seperti yang tertulis di atas, pemerintah masih lemah dalam menangani kasus demikian. Alih-alih menghentikan kasus ini, justru makin hari kian bertambah kasusnya karena kasus ini merupakan kasus yang sistemik yang memerlukan solusi tuntas dalam menghentikannya, yakni hanya dengan solusi Islam.
Bagaimana solusi Islam dalam menghentikan kasus human trafficking ini?
Terdapat sejumlah konsep dasar dalam Islam untuk menuntaskan masalah ini, yaitu:
Pertama, dengan tindakan preventif melalui penancapan keimanan kepada Allah melalui sektor pendidikan sebagai kontrol individu. Penancapan rasa takut kepada Allah menjadikan setiap individu selalu berhati-hati dalam setiap perbuatannya. Pemahaman yang utuh mengenai Islam kaffah inilah yang akan mencegah seseorang untuk melakukan tindakan kejahatan, termasuk di dalamnya melakukan perdagangan manusia maupun terlibat dalam bisnis yang melanggar syariat.
Kedua adalah peran negara. Dalam sebuah hadis Rasulullah shalallahu alaihi wasallam bersabda:
"Sesungguhnya al-imam (khalifah) itu perisai, (orang-orang) akan berperang di belakangnya (mendukung) dan berlindung (dari musuh) dengan (kekuasaan)-nya.” (HR Bukhari, Muslim, Ahmad, Abu Dawud).
Berdasarkan hadis di atas, peran negara sangat penting sebagai pelindung, pengayom dan penjaga rakyat. Adapun salah satu bentuk negara dalam mengayomi dan menjaga rakyat adalah dengan cara membantu rakyat dalam memenuhi kebutuhan pokoknya sehari-hari. Kebutuhan pokok dibuat murah, fasilitas kesehatan dan pendidikan yang mudah dijangkau, serta luasnya lapangan pekerjaan bagi laki-laki yang disediakan oleh negara dengan gaji yang amat sangat layak. Hal itu mampu dilakukan oleh negara yang menerapkan sistem Islam, karena SDA dikelola secara langsung oleh negara tanpa perantara swasta maupun asing.
Dengan kesejahteraan yang diberikan oleh negara inilah, celah adanya praktik human trafficking dapat ditutup dengan sangat rapat. Tak hanya dari sisi SDA, perekonomian khilafah Islam juga diperkuat dengan adanya Baitul mal yang dananya dialokasikan untuk rakyat miskin, para istri yang ditinggalkan oleh suaminya, para lansia, anak-anak yang tidak memiliki wali maupun kerabat. Sampai di tahap jika kas baitul mal kosong, maka negara akan mewajibkan rakyat yang tergolong kaya dan mampu untuk membantu orang-orang yang miskin ini.
Ketiga yakni penerapan sanksi yang keras pada pelaku human trafficking. Hukum Islam terhadap kejahatan human trafficking akan dikenai sanksi hukuman ta'zir yang berupa hukuman mati, penjara, pengucilan, penyalipan, dera, pengasingan dan ancaman, yang masing-masing sesuai dengan kadar kesalahannya. Adapun mereka yang terlibat namun terbebas dari hukuman akan mendapatkan sanksi ta'dib, yakni pendidikan dari negara.
Ketiga hal tersebut, dari ketakwaan individu yang dibangun negara melalui sektor pendidikan, lalu kekuatan dari sektor ekonomi dan hukum seperti yang dijelaskan di atas adalah hal yang tak hanya mampu mengatasi kasus-kasus human trafficking yang marak terjadi, namun juga sekaligus bisa menghentikan secara total kasus-kasus tersebut ke depannya.
Demikianlah uraian singkat bagaimana luar biasanya sistem Islam sebagai solusi tuntas di berbagai permasalahan umat. Oleh karenanya, sudah sepatutnya umat sadar dan mau berjuang untuk mendukung agar sistem ini dapat diterapkan dalam bernegara, demi kemaslahatan umat manusia dan sebagai Islam rahmatan lil 'alam.
Via
Opini
Posting Komentar