Opini
Pajak Naik 12 Persen, Rakyat Susah Negara Terus Berulah
Oleh: Sri Subekti Handayani
(Aktivis Dakwah)
TanahRibathMedia.Com—Betapa pahitnya kado awal tahun 2025 ini! Pemerintah menaikkan pajak dari 11 persen menjadi 12 persen. Karuan saja seluruh lapisan masyarakat bereaksi baik dari kalangan pedagang pegawai buruh ibu rumah tangga bahkan para pengusaha.
Sekalipun benar ada penambahan pemasukan untuk negara dari sektor pajak namun di sisi yang lain kenaikan ini memicu turunnya daya beli masyarakat mendorong kenaikan inflasi serta mendorong banyaknya PHK. Kelihatannya naik satu persen saja tetapi rakyat sudah tidak punya daging lagi untuk dikencangkan ikat pinggangnya! Mau bayar pakai daun?!
Sebagaimana diketahui masyarakat baru saja pulih dari pandemi corona yang menghantam tidak hanya aspek kesehatan tetapi juga aspek perekonomian. Kenaikan pajak ditengah berbagai pajak yang dikenakan tentu sangat menyakitkan hati rakyat.
Mahasiswa USU pun demikian. Mereka melakukan unjuk rasa di depan gedung DPRD Sumut Senin (31/12) menolak kenaikan pajak 12 persen dan membawa spanduk bertuliskan "pajak dinaikkan koruptor dimaafkan pejabat dimewahkan". Para mahasiswa merasa kecewa karena upaya mereka bertemu dengan seluruh perwakilan fraksi di DPRD tidak terealisasi (CNN Indonesia, 1-1-2025).
Pemerintah sendiri membuat rencana kenaikan pajak 12 persen yang tertuang dalam Beleid pasal 7 ayat 1 UU No. 7 tahun 2021 yang disusun oleh kabinet Indonesia Maju di masa pemerintahan presiden Joko Widodo dengan alasan untuk menaikkan pendapatan negara, tidak tergantung pada utang luar negeri dan penyesuaian dengan standar negara lain.
Benar-benar alasan yang tidak masuk akal dan memperlihatkan remehnya urusan manusia banyak. Tidakkah para pejabat berpikir yang menjadi orang bukan mereka saja?.
Tidak dipungkiri bahwa pemerintah tengah dalam keadaan panik atas defisit anggaran APBN 2025 yang telah mencapai 616,2 Triliun Rupiah. Dalam legalitas undang-undang yang ada tentu saja jalan keluar yang paling memungkinkan adalah menaikkan pajak. Hanya saja perkiraan pemasukan dari pajak yang baru ini hanya mencapai sekitar 80 Triliun Rupiah saja jadi kira-kira masih membutuhkan 8 kali lipat lagi. Apakah harus menaikkan pajak berkali-kali lagi?.
Imbas dari kebijakan kenaikan pajak ini juga akan membawa negara menghadapi ancaman krisis berupa peningkatan garis kemiskinan baru yaitu kalangan menengah yang terhapus dan berpindah menjadi kalangan bawah. Mereka yaitu kalangan menengah dan kalangan bawah adalah kalangan yang sebagian besar menghabiskan penghasilannya untuk biaya konsumsi. Maka ke depan akan berdampak pada turunnya daya beli masyarakat.
Pemerintah mengatakan bahwa kelak PPN hanya untuk barang-barang mewah. Bisakah PPN tersebut hanya pada barang mewah saja? Pada banyak sejarah kenaikan pajak di negeri ini akan merembet kepada barang-barang lain juga. Mungkinkah kali ini tidak?
Kebijakan Berat Sebelah
Tidak berlebihan spanduk yang ditulis para pendemo mahasiswa. Indonesia adalah negara Top Seven UMR terendah di dunia versi Velocity Global. Anehnya pajak menempati urutan no. 2 tertinggi di ASEAN. Betapa njomplangnya keadaan ini dengan kehidupan para koruptor dan pejabat serta anggota dewan.
Belum lama ini Mahkamah Agung telah memberikan vonis 6,5 tahun kepada HM atas kasus tata niaga komoditas timah yang dilakukan bersama-sama hingga menyebabkan kerugian negara hingga Rp 300 triliun. Bukannya menyita harta para koruptor dan menghukum mereka seberat- beratnya. Pemerintah bahkan memiliki narasi untuk memaafkan mereka jika hartanya dikembalikan pada negara. Inilah yang membenarkan anggapan bahwa Indonesia adalah surganya para koruptor.
Para pejabat dan anggota dewan gajinya dinaikkan dan tunjangan hidupnya mewah. Padahal jumlah mereka makin banyak selepas pemilu dan pengangkatan pejabat baru. Beberapa kantor dibangun senyaman-nyamannya bahkan seolah sedang berada di hotel bintang lima. Konglomerat pun tak ketinggalan diberikan tax amnesty.
Sementara rakyat di pihak lain tertimpa banyak kesusahan. Beberapa di antaranya terrampas ruang hidupnya, terkena badai PHK, dan menghadapi berbagai bencana tanpa uluran tangan yang memadai dari pemerintah.
Berkaitan dengan kenaikan pajak ini, seorang peneliti Celios (Center of Economic and Law Studies) Ahmad Hanif Imamuddin mengatakan bahwa kerugian akan dihadapi negara akibat fenomena kenaikan anggaran yang membahayakan fiskal dan ketimpangan sosial.
Tidak berlebihan yang dikatakan karena semuanya baik korupsi pemberian fasilitas mewah pejabat bahkan tax amnesty tentu berkaitan dengan uang rakyat yg menjadi pihak pembayar dan pemilik uang tersebut. Keadaan ini memunculkan jurang pemisah yang makin tajam antara pejabat, koruptor yang merajalela, serta konglomerat yang hidup enak di satu sisi dan rakyat di sisi yang lain.
Kita belum membahas masalah benar tidaknya pengambilan pajak. Hanya saja di luar negeri, besarnya pajak yang dikeluarkan berbanding lurus dengan baiknya pelayanan terhadap rakyat. Coba Anda bandingkan keadaannya!
‘Permen’ Pengurang Rasa Sakit
Pemerintah bukannya tidak tahu bahwa rakyat akan bereaksi terhadap kenaikan pajak ini. Karenanya Presiden Prabowo Subianto menyatakan bahwa barang-barang yang dikatakan terkena pajak 12 persen adalah barang-barang mewah saja. Selain itu ada serangkaian stimulus agar reaksi masyarakat segera teredam atas ketidakpuasan realisasi pajak 12 persen.
Ketua Dewan Ekonomi Nasional Luhut Binsar Panjaitan mengatakan bahwa pemberlakuan pajak 12 persen itu ada peluang ditunda pemerintah. Hingga saat ini yaitu awal tahun 2025 kita mengetahui bahwa kebijakan kenaikan pajak ini ditunda. Pemerintah ini menunda realisasi pajak terbaru agar jalan realisasi berjalan mulus. Untuk itu dibuatlah serangkaian program yang dikatakannya sebagai stimulus. Menurut mantan menteri kemaritiman tersebut munculnya penolakan pajak yang 12 persen itu mengemuka karena rakyat tidak tahu bahwa negara menyiapkan stimulus bagi rakyat yang terdampak. Jadi, pemerintah berencana menurunkan bansos berupa beras 10 kg untuk 16 juta keluarga penerima manfaat selama setahun.
Sementara, untuk melindungi daya beli masyarakat yang berpendapatan rendah pemerintah beri kompensasi menanggung tarif PPN sebanyak 1 persen untuk bahan makanan pokok seperti minyakita tepung terigu dan gula industri. Selain itu ada rencana pemberian diskon listrik selama 2 bulan sebesar 50 persen untuk daya listrik 450 Volt hingga 220 Volt.
Untuk kalangan menengah, pemerintah juga merencanakan pemberian insentif. Beberapa di antaranya adalah sektor mobil listrik dan hibrid.
Di sektor perumahan kelas menengah pemerintah berencana memberikan stimulus pembelian rumah dengan harga jual 5 M atas dua M yang pertama. Skemanya diskon seratus persen untuk pembelian Januari - Juli 2025 dan lima puluh persen untuk Juli - Desember 2025.
Demikian pula dalam dunia usaha. Pemerintah berencana memberikan insentif stimulus sektor UMKM dengan melanjutkan perpanjangan pajak penghasilan final 0,5 persen dari omset sampai tahun 2025 sedangkan yang kurang dari 500 juta per tahun akan dibebaskan dari PPH tersebut. PPH akan berlangsung selama 7 tahun.
Masalahnya, adanya stimulus tersebut seolah hanya merupakan permen penghilang rasa sakit hati bagi rakyat yang terkena imbas kenaikan pajak. Andai pejabat memiliki nurani tentu memikirkan bahwa keadaan seperti ini tidak bisa berlangsung lama dan membutuhkan solusi. Masyarakat membutuhkan cara pandang baru dengan solusi yang memanusiakan mereka. Yaitu solusi yang membuat hidup tidak semata-mata mencari uang untuk memberi makan dan imbalan pada pihak lain tanpa melihat kebutuhan mereka sendiri.
Juga solusi yang dihayati sebagai ibadah yang akan mereka persembahkan kepada Tuhan di hari di mana pertanggungjawaban akan dilaporkan.
Pajak dalam Islam
Semulia-mulianya agama adalah Islam yang memberikan aturan sirkulasi pengambilan harta atas masyarakat dengan cara yang ditentukan oleh Allah.
Pajak dilegalisasi di dalam Islam sebagai pilihan terakhir saat solusi tidak ada yang lain selain harus memungut pajak. Artinya pajak hanya diambil dalam keadaan tertentu dengan memenuhi beberapa syarat. Syarat tersebut yaitu: ketika kas negara dalam keadaan kosong. Itu pun masih harus memenuhi syarat yang lainnya yaitu bahwa pajak hanya boleh diambil dari orang-orang kaya saja. Diambil pajak hanya dari orang Muslim sekalipun negara memiliki warga non Muslim juga dan tidak berlaku sepanjang waktu.
Gambarannya adalah seperti masa Rasulullah ketika beliau meminta kepada kaum Muslimin untuk mencukupi kebutuhan untuk pasukan sengsara (perang Tabuk). Dikatakan waktu itu perang tersebut adalah perangnya pasukan sengsara karena terjadi di masa paceklik. Rasulullah meminta sokongan dana dari kaum muslimin. Maka pada saat itu sahabat-sahabat memberikan bantuannya. Umar bin Khattab memberikan separuh dari harta kekayaannya. Abu Bakar memberikan semua harta kekayaannya dan Utsman bin Affan membiayai sepertiga dari kebutuhan perang tersebut. Dari praktik yang terjadi di masa Rasulullah itu kita bisa mendapatkan gambaran bahwa pajak memang hanya diambil saat diperlukan yaitu saat kas negara kurang mencukupi bahkan sampai kosong. Hal itu tidak Beliau lakukan sepanjang waktu kecuali saat itu saja yaitu ketika kas negara dalam masalah.
Jika pajak diambil sepanjang waktu bahkan semua orang diminta untuk mengeluarkan. Bahkan jika tidak mengeluarkan disuruh pindah negara berarti zalim. Dalam hal ini bukan hanya mendapat celaan zalim tetapi hukum syariat menjelaskan bahwa kelak pemungut pajaknya, yang membuat aturannya, yang menetapkannya, yang mengemukakan ide untuk menaikkannya merekalah para shahibul maksi. Rasulullah bersabda:
لاَ ÙŠَدْØ®ُÙ„ُ الْجَÙ†َّØ©َ صاَØِبُ الْÙ…َÙƒْسِ
" Tidaklah masuk surga para pemungut pajak ".
Wallahua'lam bisshawab.
Via
Opini
Posting Komentar