Opini
Perlukah Demokrasi?
Oleh: Muhammad Syafi'i
(Aktivis Dakwah)
TanahRibathMedia.Com—Pertengahan Desember tahun lalu, Ketua KPU RI, Afifuddin mengaku menerima pesan whatshapp dari Menteri Dalam Negeri RI Tito Karnavian yang mempertanyakan apakah Pilkada masih diperlukan di Papua, sehubungan dengan kondisi yang terus memburuk akibat Pilkada (Kompas.com, 13-12-2024).
Seharusnya, jika ingin memperbaiki kondisi negeri ini termasuk di Papua, pertanyaan yang lebih tepat adalah masih perlukah demokrasi dipertahankan?
Pasalnya, Pilkada yang dinilai sebagai pemicu terjadinya konflik adalah buah dari sistem demokrasi. Karena itu, Pilkada biasa juga disebut sebagai pesta demokrasi, diyakini sebagai sarana yang dapat mewujudkan pemerintahan yang demokratis karena melibatkan rakyat dalam memilih pemimpinnya mulai dari tingkat gubernur, bupati, hingga tingkat kepala desa. Dengan kata lain, demokrasi merupakan sumber inspirasi bahkan melahirkan ekspektasi bagi para peserta Pilkada maupun bagi rakyat secara umum.
Dengan begitu, demokrasi patut dianggap sebagai sumber masalah atas berbagai konflik yang terjadi pada saat Pilkada. Demokrasilah yang memberikan kebebasan bagi rakyat untuk membuat aturannya sendiri di samping bebas untuk memilih pemimpin, bahkan berhak untuk dipilih menjadi pemimpin. Dengan kebebasan ini, demokrasi memang telah memberi peran bagi rakyat dalam menentukan nasibnya, namun tidak otomatis membebaskan rakyat dari kezaliman dan penindasan dari penguasa zalim.
Kebebasan yang dipropagandakan oleh demokrasi justru melahirkan berbagai masalah bagi rakyat. Para kapitalis yang merupakan bagian dari rakyat menjadi pihak yang paling bisa memanfaatkan kebebasan yang dijamin dalam sistem demokrasi. Dengan modal yang mereka miliki, para kapitalis bisa memengaruhi rakyat banyak untuk memilih wakil atau pun pemimpin yang sesuai dengan keinginan para kapitalis. Selanjutnya para wakil rakyat dan pemimpin yang terpilih bakal dengan mudah dipengaruhi untuk membuat aturan dan kebijakan yang pro terhadap kepentingan para kapitalis.
Pada saat ini, para kapitalis bahkan ikut mencalonkan diri sebagai wakil rakyat di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) maupun sebagai kepala daerah hingga ke tingkat presiden. Sehingga persaingan yang terjadi pada pilkada maupun pemilihan presiden dan wakil presiden, hakikatnya adalah persaingan antar kapitalis. Jika akhirnya terjadi konflik, maka para kapitalis inilah yang patut disebut biang keroknya, bukan rakyat kecil yang hanya menjadi alat dan korban dari persaingan antara para kapitalis rakus tersebut.
Tingginya biaya Pilkada juga menjadi tiket otomatis bagi para kapitalis untuk ikut berkompetisi atau berperan besar dalam menentukan pemenang. Sebab dengan biaya yang mencapai milyaran rupiah, mereka yang tidak memiliki banyak modal bakal kalah bahkan semenjak perebutan partai pengusung. Pemimpin pilihan rakyat hanyalah jargon, karena yang terpilih pada hakikatnya adalah pilihan para kapitalis.
Inilah fakta Pilkada dalam sistem demokrasi. Pilkada menjadi sarana bagi bara kapitalis untuk berkuasa. Tidak hanya itu, demokrasi dengan konsepnya menjamin kebebasan individu, pada kenyataannya merupakan jaminan kepentingan para kapitalis. Sehingga demokrasi dan kapitalis tidak bisa dipisahkan. Apalagi keduanya lahir dari rahim yang sama yaitu sekularisme.
Akhirnya, demokrasi sama sekali tidak bisa diharapkan melahirkan pemimpin yang pro terhadap rakyat. Sebaliknya, demokrasi hanya akan melahirkan para penguasa yang pro terhadap kepentingan para kapitalis yang hanya peduli dengan uang meskipun harus mengorbankan rakyat banyak. Jika demikian, perlukah kita mempertahankan demokrasi?
Via
Opini
Posting Komentar