Opini
PPN Tetap Naik, Tanda Peran Negara Hanya Omong Kosong
Oleh: Dwi R Djohan
(Sahabat Tanah Ribath Media)
TanahRibathMedia.Com—Presiden baru Indonesia periode 2024-2029 telah terpilih dan dilantik tepat pada hari Minggu (20-12-2024). Prabowo Subianto sebagai Presiden dan Gibran Rakabuming Raka sebagai Wakil Presidennya. Dengan Kabinet Merah Putih yang membantu dalam masa jabatannya dengan terdiri dari 48 menteri, 5 kepala badan dan 59 wakil menteri (Setkab.go.id, 20-10-2024).
Pemimpin baru seharusnya punya gebrakan baru dalam kepemimpinannya. Namun, itu tidak terjadi. Rencana kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12 persen per 1 Januari 2025 kembali akan dilanjutkan.
Seperti yang kita ketahui bahwa rencana kenaikan PPN 12 persen adalah usul inisiatif pemerintahan Joko Widodo (kompas.com,22-12-2024) yang disampaikan kepada DPR pada 5 Mei 2021. Joko Widodo melakukannya berdasar nomenklatur Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP) yaitu UU No 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP). Lalu pada 28 Juni 2021, Komisi X melakukan pembahasan Revisi UU KUP berdama Menteri Keuangan dan Menteri Hukum dan HAM. Setelah itu, komisi X DPR melakukan pendalaman, perumusan dan sinkronisasi mengenai Rancangan Undangan Undang (RUU) tersebut. DPR melanjutkan dengan rapat dengar pendapat dari akademisi, praktisi dan pakar juga pengamat.
Dari berbagai rapat tersebut, akhirnya mendapat kesepakatan untuk melakukan perubahan nomenklatur menjadi Harmonisasi Peraturan Perpajakan serta memuat aturan yang membuat PPN naik menjadi 12 persen di tahun 2025.
Dan pada tanggal 29 September 2021, RUU HPP akan dibawa ke rapat paripurna untuk segera diketok menjadi UU. Tepat tanggal 7 Oktober 2021, RUU HPP resmi ditetapkan sebagai UU oleh DPR pada sidang paripurna yang dihadiri 120 anggota dan 327 anggota viryual. Tercatat ada 8 dari 9 fraksi di DPR yang setuju yaitu PDI-P, Golkar, Gerindra, Nasdem, PKB, Demokrat, PAN dan PPP. Hanya fraksi dari PKS saja yang menolaknya.
Dengan kata lain, pemerintahan sekarang, meski orangnya berbeda tetapi masih melakukan kebijakan yang sama bahkan melanjutkan.
Adanya kenaikan PPN yang tetap akan diberlakukan, pemerintah beralasan akan memberikan batasan barang-barang yang terkena kenaikan PPN. Walau begitu, tetap saja hal tersebut memberatkan rakyat. Sekalipun bakal ada program bansos atau subsidi PLN, kebijakan semacam ini adalah kebijakan populis otoriter.
Lalu timbul pertanyaan, mengapa pajak harus naik?
Negara kita adalah penganut sistem kapitalisme. Di mana roda pemerintahan dan kebijakannya bersumber pada pajak dan utang. Dari 2 komponen tersebut, negara bekerja. Maka pajak dan utang dilakukan dengan dalih untuk membiayai semua kepentingan umum, termasuk juga untuk membiayai pembangunan, sehingga dapat membuka kesempatan kerja yang pada akhirnya akan dapat meningkatkan pendapatan masyarakat. Jika utang sudah menumpuk maka solusi yang diberikan adalah menaikkan pajak.
Jika pajak sudah naik, harapan pemerintah di antaranya:
1. Penerimaan negara dari sektor pajak meningkat, yang akhirnya bisa digunakan untuk mengurangi defisit anggaran dan memberikan kepastian tentang kebijakan fiskal pemerintah ke depan termasuk kegiatan negara seperti pembangunan infrastruktur, pendidikan, kesehatan dan lain-lain.
2. Menyederhanakan ekspor dan impor karena persentase pajak yang seragam sehingga semua merasakan hal yang sama.
3.Pemerintah dapat lebih leluasa mengalokasikan kebutuhan anggaran untuk membiayai pembangunan tanpa perlu bergantung pada utang.
Bahkan, mengutip beritasatu.com (16-12-2024), Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto, menyebut adanya kenaikan PPN 12 persen pada 2025 adalah upaya untuk menyukseskan program prioritas Presiden Prabowo yaitu Makan Bergizi Gratis.
Namun, jika kita mencermati dampak dari kenaikan PPN ini sangat banyak, yaitu:
1.Pengeluaran bertambah
2.Turunnya daya beli
3.Penurunan konsumsi masyarakat
4.Kenaikan inflasi meskipun tidak setinggi yang dibayangkan
5.Penurunan PDB
6.Penurunan ekspor
7.Otomatis, penurunan penerimaan negara.
8.Kesenjangan sosial di tengah-tengah masyarakat akan semakin tampak, angka pengangguran naik, dan kriminalitas tidak terbendung.
Ancaman tak terelakkan ini, sepertinya diacuhkan alias dianggap angin lalu. Terbukti dengan gemuknya Kabinet Merah Putih yang dibentuk oleh Prabowo yang baru ini.
Bisa disebut bahwa kabinet kali ini adalah kabinet tergemuk sejak pemerintahan era reformasi. Padahal ini bisa membawa konsekuensi birokrasi dan anggaran. Bagaimana mungkin mencapai cita-cita swasembada pangan, swasembada energi, pengentasan kemiskinan hingga perbaikan gizi dengan target tuntas pada lima tahun mendatang jika anggaran sudah terserap banyak pada birokrasi? Akhirnya peran negara dan keseriusannya dipertanyakan.
Itulah sistem kapitalisme. Beda dengan sistem Islam. Islam menjadikan penguasa sebagai raa’in dan junnah. Raa’in dengan maksud sebagai pemimpin, garda terdepan rakyat. Junnah dengan maksud sebagai perisai, pelindung terbaik untuk rakyat.
Islam menetapkan bagaimana profil penguasa dan juga mengatur bagaimana relasi penguasa dengan rakyatnya. Penguasa tahu apa yang dibutuhkan rakyatnya dan rakyat tahu bagaimana mendukung kebijakan penguasa.
Penguasa dalam Islam, wajib mengurus rakyat dan mewujudkan kesejahteraan individu per individu. Islam juga mewajibkan penguasa membuat kebijakan yang tidak menyulitkan hidup rakyat.
Bagaimana Islam bisa membuat kondisi menjadi seperti itu? Karena Islam melibatkan peran Allah. Allah sebagai Pencipta dan Pengatur yang tahu aoa yang dibutuhkan oleh manusia dan alam semesta. Dengan aturan-Nya, bisa membuat manusia dan alam berjalan seimbang sesuai fitrahnya.
Wallahu a’lam
Via
Opini
Posting Komentar