Opini
Teka-teki di Balik PPN Batal Naik
Oleh: Novita Ratnasari, S. Ak.
(Penulis Ideologis)
TanahRibathMedia.Com—Melansir harian Pajak.com, pada Kamis (2-1-2025) dinyatakan bahwa Pajak Pertambahan Nilai atau PPN batal naik 12 persen untuk barang dan jasa secara umum atau barang-barang konsumsi harian serta layanan esensial. Namun, Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM) dikenakan tarif pajak 12 persen. Artinya, kenaikan PPN 12 persen hanya untuk PPnBM sesuai amanat Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 15 Tahun 2023. Adapun kategori barang-barang mewah sangat limited edition, seperti kapal pesiar, private jet, ataupun rumah yang sangat mewah.
Menempuh langkah ini, pemerintah memandang sebagai kebijakan strategis, agar tetap mampu menjaga daya beli masyarakat serta menciptakan keadilan di tengah karut-marut kondisi ekonomi sekarang.
Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati menyampaikan bahwasanya barang-barang kebutuhan pokok seperti beras, jagung, kedelai, gula, susu segar, ikan, dan semacamnya mendapatkan pelayanan PPN 0 persen. Sedangkan, layanan esensial seperti transportasi umum, pendidikan, kesehatan, dan jasa keuangan juga dibebaskan dari PPN.
Ironis, layaknya jauh panggang dari api, nyaris mustahil dan tidak seperti yang diharapkan, nampak retorika belaka. Realitas yang terjadi, harga kebutuhan barang pokok justru meroket naik, dilansir harian Kompas.com, Sabtu (11-1-2025) harga ikan kembung mengalami kenaikan Rp 1.620 setara 3,95 persen dengan harga sebelumnya. Bahkan di Sumatera Barat mengalami kenaikan yang signifikan, dengan dipatok harga Rp 60.000 per kilogram.
Kenaikan harga juga berlaku untuk ikan tongkol, sebesar Rp 1.120 setara 3,33 persen, dipatok pada harga Rp 33.640 per kilogram. Hal serupa terjadi di Sumatera Barat dengan kenaikan tertinggi, ikan tongkol dibandrol harga Rp 50.000 per kilogram. Kenyataan pahit, juga terjadi di Jawa Timur, kenaikan harga pada cabai merah kriting sangat kontras, dibandingkan kebutuhan pokok lainnya, naik Rp 2.650 atau 5,54 persen, untuk telur ayam kampung naik Rp 2.044 atau 4,55 persen (Detik.com, 16-1-2025)
Fakta pertama kita dapati bahwa ternyata PPN batal naik, tidak memberi dampak apa pun. Ironis, harga kebutuhan harian hampir merata mengalami kenaikan. Narasi menjaga kesehatan daya beli masyarakat, hanyalah hoax.
Pertanyaan selanjutnya, kenapa tiba-tiba pemerintah membatalkan kenaikan PPN? Mengingat, sebelumnya mendapatkan penolakan dari berbagai elemen, namun tetap pada pendirian akan menaikkan PPN 12 persen. Katanya, sesuai amanat Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 perihal Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP), tetapi di akhir cerita seakan jadi super hero dalam negeri dongeng.
Penggiringan Presepsi Nasional
Sebenarnya, di negeri ini bukan rahasia publik lagi, menyoal kebijakan serba dadakan bin instan. Misalnya kenaikan BBM, omnibus law, undang-undang tentang batas usia pencalonan wapres, dan lain sebagainya. Namun, kali ini terjadi permainan bola yang sama sekali berbeda menyoal wacana kenaikan PPN 12 persen. Justru, secara mendadak kenaikan PPN 12 dibatalkan, hingga marak teori bermunculan, misalnya late hero syondrome (sindrom pahlawan kesiangan), manipulasi, penggiringan presepsi nasional, dan lain-lain.
Ketika memahami alurnya, merekam situasi, bahkan membaca pola dari awal mencuatnya narasi kenaikan PPN 12 persen hingga dibatalkan, para politisi menggunakan strategi trial balloon theory atau balon percobaan. Artinya, strategi tes ombak untuk mengetahui reaksi publik dengan menyebarkan suatu rumor atau sesuatu yang tidak pasti. Menggambarkan uji opini publik terhadap ide, gagasan, program, proposal, atau suatu kebijakan tertentu. Pastinya, kalau responnya positif atau mendapat banyak dukungan serta simpatisan, maka akan terus melanjutkan program tersebut. Namun, ketika respon publik negatif atau banyak pertentangan dari berbagai pihak, artinya harus dibatalkan.
Seharusnya, kebijakan ini memang ditiadakan mengingat banyaknya middle class yang turun kasta, keuangan keluarga mengalami defisit, pengeluaran menggila sedangkan pemasukan tak seberapa. Belum lagi pengangguran kian menggurita dan marak fenomena sulit cari kerja di negeri sendiri. Kenaikan PPN hanya akan memberikan luka dan memperpanjang durasi penderitaan rakyat.
Rangkaian kejadian ini, semua bermuara pada cara pandang kapitalisme, memaknai seluruh aktivitas dengan asas manfaat. Ironis, ketika sebuah objek dipandang tidak menguntungkan, secara otomatis dipangkas, bisa dengan aturannya yang diubah secepat kilat, atau disetting sesuai kepentingan. Misal dalam konteks ini, untuk menjaga nama baik pemerintahan di depan rakyat, PPN dibatalkan. Namun, dalam waktu bersamaan, harga-harga kebutuhan harian tetap naik, bahkan banyak stok langka yang kian merepotkan masyarakat.
Belum lagi, pembatalan kenaikan PPN ini juga diselamatkan oleh 'the power of the people', lebih tepatnya kekuatan rakyat dalam julid fisabilillah. Kondisi ini, menunjukkan suara masyarakat yang berujung menjadi katalis untuk suatu isu dipercepat, atau terkenal dengan kebijakan 'no viral no justice'.
Bercermin ke Masa Islam Diterapkan
Istirahat sejenak, flashback dan bercermin ke masa-masa Islam diterapkan menjadi sebuah cara pandang seluruh manusia yang hidup di bawah negara Islam. Selayaknya negeri dongeng, tersohor cerita-cerita indah dan dambaan seluruh manusia. Tetapi, ini bukan fiktif, melainkan kebenaran yang akurat. Bagaimana tidak, hampir 14 abad Islam menguasai 2/3 benua, dan kegemilangan peradaban Islam menandingi dua imperium besar, yaitu imperium Persia dan imperium Roma.
Dalam konteks ini, negara Islam tidak pernah memungut pajak untuk rakyat. Terkecuali, baitul maal sedang mengalami defisit. Pungutan pajak dalam negara Islam sangat jauh berbeda dengan pajak dalam negara kapitalisme. Dalam negara Islam, pajak bersifat sementara, darurat, dan hanya diperuntukkan untuk orang kaya saja. Jadi jelas, tidak membebani seluruh rakyat seperti dalam sistem Kapitalisme.
Terlebih, dalam negara Islam, seorang pemimpin dan pemilik jabatan, secara individu mereka sholih, amanah, jujur, dan secara keseluruhan mereka taat kepada Allah dan Rasul. Jadi jelas, standar kebijakan pun ridha Sang Pencipta, bukan kepentingan manusia.
Pelayanan umum dalam negara Islam seperti pendidikan, kesehatan, serta infrastruktur publik tidak dikenakan pungutan sepeser pun. Ditunjang dengan lapangan pekerjaan yang disediakan negara, sehingga para pencari nafkah dapat memenuhi kebutuhan dan menjalankan kewajibannya sesuai syariat.
Perbedaan sangat mencolok, ketika hari ini, rakyat terbebani dengan biaya pelayanan umum, dan susahnya cari kerja, sehingga berujung pinjol, ngemis, bahkan mirisnya lagi bunuh diri.
Sedangkan kehidupan dalam negara Islam, semua aturan memuaskan akal manusia, sesuai fitrah manusia, dan tentu menentramkan jiwa setiap manusia. Setiap manusia, dibina dengan kurikulum Islam, sehingga dalam kehidupan individu, bermasyarakat, bahkan mengemban tugas negara tetap sejalan dalam koridor aturan Sang Pencipta.
Wallahu'alam bishowab.
Via
Opini
Posting Komentar