Opini
Toleransi yang Kebablasan
Oleh: Nazilatul Qodariyah, S. Pd.
[Anggota Komunitas Muslimah Menulis (KMM) Depok]
TanahRibathMedia.Com—Sangat ironi bahkan menjadi toleransi yang kebablasan terjadi setiap tahunnya di penghujung pergantian tahun. Kaum Muslimin seolah diminta ikut memeriahkan perayaan Natal dan Tahun Baru yang sebenarnya bukanlah hari raya umat Islam. Dari awal Desember, masyarakat sudah dihimbau untuk menjaga kerukunan antar umat beragama menjelang perayaan Natal dan Tahun Baru.
Seperti yang disampaikan Walikota Surabaya Eri Cahyadi, pentingnya kerja sama semua kalangan dalam pengamanan tempat ibadah dan kenyamanan ibadah umat Kristiani yang akan merayakan Natal (Jawapos.com, 13-12-2024). Pernyataan serupa juga disampaikan Kapolda NTT Irjen Pol Daniel Tahi Monang Silitonga yang mengajak ormas keagamaan untuk turut serta menjaga keamanan ibadah selama perayaan Natal (rri.co.id, 20-12-2024).
Perayaan Natal seolah-olah menjadi perayaan semua agama karena begitu besarnya perhatian pemerintah dalam perayaan Natal ini. Perayaan agama minoritas bak perayaan agama mayoritas karena semua kalangan diminta terlibat dalam pengamanan pelaksanaannya. Pemerintah, melalui Menteri Agama RI Nasaruddin Umar mengajak seluruh masyarakat untuk menjaga keharmonisan antar umat beragama menjelang perayaan Natal dan Tahun Baru ini. Bahkan ia menekankan pentingnya saling mendukung dan menghormati perayaan Natal ini (radarsampit.jawapos.com, 15-12-2024).
Sungguh jelas ini adalah toleransi yang kebablasan. Pemerintah dan para pejabat lainnya mengajak kaum Muslimin untuk ikut meramaikan dan merayakan hari raya umat lain, khususnya perayaan Natal ini yang merupakan perayaan umat Kristen. Walaupun hanya sekadar mengucapkan kata ‘Selamat’ dan menggunakan atribut-atribut Natal karena pekerjaan, namun sebenarnya memiliki makna yang mendalam yang bisa merusak akidah Islam. Inilah bukti tidak adanya penjagaan akidah oleh negara.
Mengapa demikian? Memang benar Islam pun mengajarkan toleransi beragama. Yaitu tidak memaksakan orang lain untuk memeluk Islam dan membebaskan umat agama lain untuk beribadah sesuai agama dan keyakinannya. Allah berfiman, “Katakanlah (Muhammad), Wahai orang-orang kafir! Aku tidak akan menyembah apa yang kamu sembah, dan kamu bukan penyembah apa yang aku sembah, dan aku tidak pernah menjadi penyembah apa yang kamu sembah, dan kamu tidak pernah (pula) menjadi penyembah apa yang aku sembah. Untukmu agamamu, dan untukku agamaku” (TQS.Al-Kafirun: 1-6).
Artinya, dalam hal ibadah dan perayaan hari besar agama, diserahkan kepada agama masing-masing. Kita sebagai umat Islam, tidak boleh ikut-ikutan merayakan perayaan hari besar agama lain, termasuk perayaan Natal.
Rasulullah saw. pun bersabda, “Barang siapa yang menyerupai suatu kaum, maka dia termasuk bagian dari mereka.” (HR Ahmad dan Abu Daud).
Hadis tersebut ditegaskan oleh Ibnu Taimiyah rahimakumullah, “Keserupaan dalam perkara lahiriyah bisa berpengaruh pada keserupaan dalam akhlak dan amalan. Oleh karena itu, kita dilarang tasyabbuh dengan orang kafir” (Majmu’ Al Fatawa, 22: 154).
Artinya, kita sebagai umat Islam dilarang untuk mengikuti kebiasaan umat lain dan menyerupai mereka. Termasuk dalam hal menggunakan atribut-atribut Natal dan ikut merayakan tahun baru yang bukan perayaan umat Islam.
Oleh karena itu, toleransi yang diajarkan Islam tidak akan terwujud dalam negara yang masih menjadikan HAM dan kebebasan sebagai asas dalam berbuat. Justru toleransi yang terwujud lebih mengarahkan kaum Muslimin dalam toleransi yang kebablasan. Yang semakin merusak akidah Islam kaum Muslimin.
Sangat berbeda ketika Islam diterapkan secara kaffah. Negara akan menjaga akidah umat dengan tidak ikut merayakan hari raya umat lain. Negara akan memberikan nasihat takwa yang semakin menguatkan akidah Islamnya terutama dalam momen yang krusial yang bisa menyebabkan rusaknya akidah umat, seperti perayaan Natal dan Tahun Baru. Negara juga memberikan penjelasan melalui departemen penerangan yang berkaitan dengan sikap umat Islam terhadap perayaan agama lain.
Dalam sistem Islam kaffah, kaum Muslimin bisa hidup rukun berdampingan dengan agama lain tanpa mengikuti dan mengusik ibadah dan perayaan hari raya mereka. Umat non Muslim pun bisa bebas beribadah dan merayakan hari raya mereka. Begitulah toleransi dalam Islam yang tidak akan merusak akidah umat.
Via
Opini
Posting Komentar