Opini
Danantara: Masa Depan Tangguh atau Masa Depan Lumpuh?
Oleh: Novita Ratnasari, S. Ak
(Penulis Ideologis)
TanahRibathMedia.Com—Produk baru Presiden Prabowo Subianto yaitu Badan Pengelola Investasi (BPI) Daya Anagata Nusantara (Danantara) resmi rilis pada Senin (24-2-2025). Diresmikan dan dikukuhkan dengan meneken Undang-Undang (UU) Nomor 1 Tahun 2025 perihal Perubahan Ketiga atas UU Nomor 19 Tahun 2003 mengenai Badan Usaha Milik Negara serta Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 10 Tahun 2025 perihal Organisasi dan Tata Kelola BPI Danantara. Kemudian Prabowo Subianto juga meneken Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 30 Tahun 2025 Tentang Pengangkatan Dewan Pengawas dan Badan Pelaksanan BPI Danantara.
Melansir dari laman Tempo.com, Selasa (25-2-2025), Prabowo Subianto berpandangan bahwa Danantara adalah sumber energi masa depan yang akan dikelola secara transparan, sebab akan diwariskan kepada generasi mendatang. Harapan itu melatarbelakangi tugas Danantara untuk mengelola kekayaan negara dengan investasi strategis, serta mengelola dividen BUMN. Perlu diperhatikan, bahwa Danantara akan mengelola dana lebih dari Rp. 14 ribu triliun atau setara dengan US$ 900 miliar, serta mengelola 7 BUMN besar ialah PT Pertamina (Persero), PT PLN (Persero), PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk, PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk, PT Bank Mandiri (Persero), PT Telkom Indonesia (Persero) Tbk, dan MIND ID (Mining Indusrty Indonesia).
Sepintas, gagasan Danatara terlihat sangat bagus untuk mengoptimalkan perekonomian Indonesia. Secara tekstual, transparansi dalam pengelolaan aset publik memang harus dikerjakan. Tetapi menarik, pendapat dari Dosen Departemen Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta Andreas Budi Widyanta menilai, kehadiran Danantara akan menjadi masalah serius, karena menentukan apakah Indonesia akan menjadi negara gagal atau berhasil, sebab menyangkut dana publik (Suara.com, 25-2-2025).
Danantara Merekrut Tokoh Bermasalah
Ada dua tokoh yang menjadi sorotan publik dan sangat kontroversial, sebab dalam rekam jejak digital menunjukkan tokoh yang bermasalah.
Pertama, Dr. (HC) Ir. Burhanuddin Abdullah Harahap, MA yang digadang-gadang sebagai Ketua Tim Pakar Danantara. Pasalnya, Burhanudin pernah mendekam di Lembaga Pemasyarakatan (lapas) Sukamiskin selama lima tahun karena kesandung kasus korupsi di Bank Indonesia sebesar 100 miliar.
Kedua, Muliaman Darmansyah Hadad dipercaya menjadi Wakil Ketua BPI Danantara. Ironis, Muliaman Hadad memiliki rekam jejak kelam, Mualiman pernah diperiksa intensif KPK terkait mega skandal Century. Terlebih ketika menjabat sebagai Ketua KPK, sempat kebobolan atas mega kasus Jiwasraya yang merugikan negara belasan truliun rupiah.
Pemantik Kegagalan Danantara
Dua tokoh problematik ini, memantik kekhawatiran berbagai elemen masyarakat akan kegagalan Danantara. Sebab, Danantara akan menjadi momok bagi Indonesia jika tidak dikelola secara hati-hati. Ketika melihat keadaan Indonesia saat ini, dengan segudang persoalan yang problematik, tagar Indonsia gelap sangat menggambarkan keadaan Indonesia sekarang. Sehingga, akan beresiko gagal, tentu akan merugikan negara dan rakyat kembali jadi tumbal.
Pertama, belum ada budaya transparasi yang kuat. Prabowo terinspirasi oleh lembaga investasi global di Singapura yaitu Temasek Holdings. Namun, lembaga tersebut memiliki transparasi dan akutabilitas yang ketat. Sedangkan Indonesia, belum memiliki sistem yang kuat dan ketat seperti di Singapura. Misalnya laporan keuangan BUMN tidak terbuka untuk publik. Diperparah budaya korupsi sudah menjamur dan sulit dienyahkan sampe ke sektor paling rendah, seperti dalam lingkup kecil seperti RT saja, rawan korupsi. Jika budaya transparasi yang digadang-gadang Danantara gagal, tentu Kasus 1MBD coruption scandal di Malaysia bisa kapan saja terjadi dalam Danantara.
Kedua, track record yang buruk dalam mengelola dana publik. Misalnya dalam sektor batu bara, nikel, gas, pertamina, bahkan IKN yang digadang-gadang sebagai mega proyek dengan investasi skala jumbo, berakhir mangkrak. Kemudian ada coretax pajak atau sistem pajak digital yang bernilai triliunan juga berakhir gagal. Coretax pajak merupakan potret buruk implementasi proyek digital di Indonesia.
Ketiga, karut-marutnya persoalan ekonomi di Indonesia, dari banyaknya penurunan kelas menengah yang tak tanggung-tanggung, serta turun level ke kelas rentan miskin, maraknya pengangguran, kemiskinan menggurita, belum lagi akhir-akhir ini banyak kalangan protes terhadap kebijakan negara yang diduga kuat selalu merugikan rakyat. Seperti ramai blue screen of democracy, tagar kabur aja dulu, aksi demonstrasi para mahasiswa yang menggemparkan publik dengan tagar Indonesia gelap, lagu bayar, bayar, bayar sebagai kritik pedas terhadap aparat polisi, belum lagi banyaknya problem dari internal politik yang berbenturan dengan kepentingan masing-masing.
Mengingat negeri ini, memiliki sistem ekonomi pancasila yang berkiblat kepada China dengan ideologi Kapitalisme. Artinya barometer adalah profit semata. Persoalannya, dalam pembentukan Danantara, siapa pihak yang paling diuntungkan? Rakyat? Atau mereka yang memiliki modal?
Tentu ketika kita flashback, dari banyaknya kebijakan, bahkan revisi undang-undang, tidak ada satu pun kebijakan yang secara utuh berpihak kepada rakyat. Ironis, kata untuk kesejahteraan rakyat hanya digunakan sebagai branding semata. Hanya pemanis tekstual! Mengingat program MBG yang menggunakan anggaran raksasa, berujung problematik. Lagi-lagi rakyat yang terdampak.
Setidaknya sebelum membuat mega proyek raksasa, seperti Danantara, ada baiknya memperbaiki terlebih dahulu sistem ekonomi yang selama ini problematik. Sebab, ketika Danantara berjalan di atas sistem kapitalisme, ibarat menguraikan benang kusut, mustahil!
Menuju Sistem Ekonomi Islam
Dulu, masa-masa Islam diterapkan di tengah-tengah masyarakat sebagai cara pandang hidup, sebagai sebuah aturan kehidupan, barometer perbuatan mengikuti aturan Islam. Bukan Islam mengikuti perbuatan manusia bahkan setiap kepentingan manusia.
Dalam mengelola dana negara dan kekayaan negara, tentu Islam memiliki aturan yang komplek dan detail. Kesalahan hari ini, ketika Islam hanya dicukupkan sebagai agama, tanpa diberi wewenang untung mengatur segala aspek kehidupan, termasuk bernegara. Sehingga muncul statement, tidak boleh mencampuradukkan antara agama dan politik. Padahal esensi politik dalam Islam, adalah mengatur, memelihara, serta mengurusi seluruh urusan umat. Artinya, praktik politik harus sesuai aturan Islam dan diatur dalam agama Islam.
Misalnya, dalam Islam untuk pengelolaan sumber daya alam atau apapun yang masuk dalam kategori kepemilikan umam, harus dikelola negara dengan tepat dan benar, tanpa diperbolehkan celah praktik korupsi sedikitpun. Sebab dalam sistem ekonomi Islam, tidak ada riba, semua transaksi harus memiliki akad yang jelas, dan semua semata-mata hanya untuk mengapai ridha Allah.
Dalam sistem ekonomi Islam, tidak diperbolehkan sumber daya alam diprivatisasi asing, karena ketika kepemilikannya diberi kepada semua pihak baik individu sebagai pemilik modal, pengusaha, penguasa atau bahkan swasta asing dan aseng, yang tentunya kesejahteraan rakyat nomor sekian.
Dalam pengelolaan dana negara, dikelola secara transparan, jujur, dan disalurkan sesuai pos-pos nya, tentunya tepat sasaran. Dalam Islam, ada lembaga baitul maal yang bertugas mengelola keuangan, baik dana pribadi, dana kepemilikan publik, dan dana milik negara, seperti dana pribadi disalurkan kepada pos delapan asnaf.
Dengan sumber daya yang melimpah di bumi pertiwi ini, jika dikelola dengan tepat, kepemilikannya sepenuhnya berada di tangan negara, serta meningkatkan kualitas pendidikan berbasis Islam. Karena hanya kurikulum Islam yang mampu mengupgrade dan mencetak kepribadian yang berbudi luruh, bermoral, berintregitas tinggi, serta lahir generasi cemelang. Lahirlah para generasi yang mampu berkontribusi untuk bumi pertiwi. Jadi, tidak ada istilah sda melimpah namun krisis sdm.
Masyarakat harus segera sadar bahwa kerusakan yang mengila akibat diabaikan aturan Allah, dan kita harus segera kembali menerapkan aturan Islam di seluruh aspek kehidupan. Kesehatan ekonomi sebuah peradaban ditentukan dari aturan yang diterapkan, bukan dari mega proyek raksasa di bawah kendali sistem thagut.
Wallahu'alam bishowab.
Via
Opini
Posting Komentar