Opini
Efisiensi Anggaran: Retorika Manis atau Demi Kepentingan Elite?
Oleh: Salsabila Isfa Ayu Komalasari
(Sahabat Tanah Ribath Media)
TanahRibathMedia.Com—Efesiensi anggaran menjadi jargon utama untuk membangun negeri. Anggaran dipangkas dan infrastruktur terhenti, maka kebijakan ini perlu dikaji apakah benar ini untuk kepentingan rakyat atau justru ada ketimpangan yang perlu ditutupi?
Implementasi kebijakan efesiensi anggaran yang signifikan menargetkan total penghematan pada tahun 2025 sebesar Rp306,69 triliun. Pemangkasan ini mencakup anggaran kementerian dan lembaga sebesar Rp256,1 triliun serta transfer ke pemerintah daerah sebesar Rp50,6 triliun. Penghematan ini dicapai melalui pembatasan belanja seremonial, perjalanan dinas, dan pengeluaran lain yang dianggap tidak esensial.
Pemerintahan Prabowo Subianto menekankan bahwa tujuan efesiensi anggaran adalah untuk mengurangi pemborosan, untuk menjaga stabilitas fiskal dan meningkatkan kualitas layanan publik. Alokasi penghematan anggaran ini akan ditujukan untuk program-program prioritas, seperti program makan siang gratis untuk lebih dari 82 juta anak dan ibu hamil.
Namun di balik jargon efesiensi anggaran ini, ada realitas yang menimbulkan kekhawatiran. Pemangkasan anggaran justru menyasar pada sektor sektor penting yang berperan dalam kesejahteraan masyarakat. Misalnya di sektor pendidikan, di mana anggaran Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi (Kemendiktisaintek) dikurangi sebesar Rp22,5 triliun.
Hal ini sangat memprihatinkan, tentu akan berdampak pada semakin sulitnya akses pendidikan tinggi bagi mahasiswa kurang mampu, menghambat riset dan inovasi, serta kualitas akademik berisiko menurun. Pemangkasan anggaran di sektor pendidikan akan mengancam keberlanjutan beasiswa seperti KIP-K dan Beasiswa Pendidikan Indonesia (BPI). Mahasiswa yang kurang mampu secara finansial kini menghadapi ketidakpastian terkait pendanaan studi mereka. Selain itu, pemangkasan anggaran sertifikasi guru dapat berujung pada penurunan kualitas pengajaran, yang pada akhirnya berdampak pada kualitas pendidikan generasi penerus bangsa.
Tidak hanya itu, sektor infrastruktur pun mengalami hal serupa. Jika dunia pendidikan terancam kehilangan akses dan kualitas, maka pembangunan fisik yang mendukung aktivitas ekonomi masyarakat juga turut terbengkalai. Pemangkasan secara dratis juga terjadi di Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR), akibatnya akan banyak pembangunan infrastruktur seperti jalan, jembatan terhambat atau bahkan terhenti. Dampak lainnya, ribuan pekerja konstruksi kehilangan pekerjaan akibat proyek infrastruktur yang dihentikan.
Lantas jika pemerintah mengklaim efesiensi anggaran dilakukan demi menyehatkan perekonomian negara, mengapa justru sektor sektor vital dikorbankan? Ironisnya, biaya yang dihemat dari pemangkasan anggaran pendidikan sebesar Rp22,5 triliun justru bisa sebanding dengan biaya operasional untuk menggaji dan mendanai berbagai tunjangan pejabat di kabinet gemuk. Jika efisiensi benar-benar menjadi tujuan utama, bukankah lebih logis jika pengurangan dilakukan pada sektor birokrasi yang gemuk dan boros, bukan pada sektor yang langsung berdampak pada rakyat?
Nyatanya pemerintahan hanya menyasar sektor sektor esensial yang berhubungan langsung dengan masyarakat bawah. Pemborosan dalam bentuk penggajian pejabat dalam kabinet gemuk dan pos-pos anggaran yang tidak berdampak langsung pada kesejahteraan rakyat justru tidak dikenai efesiensi anggaran.
Nampaknya, kebijakan efesiensi anggaran ini hanya akan menguntungkan bagi kelompok elit dibandingkan rakyat kecil. Mengorbankan anggaran sektor pendidikan dan infrastruktur justru akan menimbulkan masalah masalah baru yang lebih serius. Sementara progam makan siang gratis yang menjadi progam utama belum tentu akan membawa dampak sosial yang besar sebagaimana yang diklaim. Kebijakan ini pada dasarnya populis, tetapi perencanaannya lemah. Akibatnya, bukan menyelesaikan masalah, justru menambah kompleksitas persoalan.
Melihat pola kebijakan efesiensi anggaran yang banyak memangkas sektor vital yang dampaknya berhubungan langsung dengan rakyat kecil. Maka muncul pertanyaan, mengapa kebijakan semacam ini terus berulang? Kesejahteraan rakyat kecil selalu di korbankan, apakah ini murni kesalahan teknis atau ada sesuatu yang lebih mendasar?
Faktanya, kebijakan ekonomi tidak berdiri sendiri melainkan lahir dari sistem politik yang mengendalikannya. Jika sistem politik yang ada memungkinkan segelintir elite menentukan arah kebijakan demi kepentingan mereka, maka wajar jika kebijakan yang dihasilkan tidak berpihak pada rakyat. Di sinilah kita perlu menelaah lebih jauh, apakah demokrasi benar-benar sistem yang mampu mewujudkan kesejahteraan atau justru menjadi alat legitimasi bagi kepentingan oligarki?
Nyatanya demokrasi hanya menjadi ilusi, nampak berjalan padahal hakikatnya dikuasai oleh segelintir orang yang berkepentingan. Demokrasi hanya akan melanggengkan politik uang dan cengkeraman oligarki, di mana kekuasaan dikendalikan oleh elit politik dan ekonomi. Kebijakan yang dihasilkanpun akan selalu condong pada kepentingan mereka, bukan untuk kesejahteraan rakyat. Ditambah lagi, praktik politik transaksional dan manipulasi hukum dan kebijakan semakin memperparah keadaan.
Apakah mungkin kebijakan yang berpihak kepada rakyat dapat terwujud dalam sistem yang didominasi kepentingan segelintir elite? Jika kita terus menerapkan sistem yang sama, haruskah kita berharap hasil yang berbeda? Ataukah sudah saatnya mencari solusi yang lebih mendasar untuk membawa perubahan hakiki?
Oleh karena itu, untuk perbaikannya tidak cukup hanya sekedar reformasi tanpa perubahan fundamental. Karena sama saja hanya penggantian pemain, bukan perbaikan sistem. Untuk mencapai perbaikan yang hakiki, dibutuhkan perubahan sistem yang menyeluruh. Satu-satunya alternatif untuk menggantikan sistem demokrasi hari ini adalah sistem Islam.
Islam memiliki seperangkat aturan yang menyeluruh dalam hukum, pemerintahan dan mekanisme sosial yang khas, yang berbeda dari demokrasi sekuler. Dalam konsepnya, kekuasaan tertinggi berada di tangan hukum syara’. Ini menunjukkan bahwa hukum, kebijakan, dan sistem pemerintahan harus merujuk kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah, bukan pada kehendak mayoritas seperti dalam demokrasi sekuler.
Dalam sejarah Islam, sistem pemerintahan yang menerapkan sistem Islam dikenal dengan Khilafah yang dipimpin oleh seorang Khalifah. Dalam kepemimpinannya, Khalifah wajib menerapkan syariat Islam secara menyeluruh dalam aspek politik, ekonomi, sosial, dan peradilan. Kepemimpinan ini bersifat amanah dan harus dijalankan dengan prinsip keadilan, serta perlindungan terhadap hak-hak umat. Dengan demikian, kebijakan yang dibuatpun hanya didasarkan pada kemashlahatan umat bukan pada kepentingan sekelompok orang.
Dalam mewujudkan perubahan ini, tentu akan menghadapi tantangan besar. Kesadaran umat dan sistem yang telah ada, maka ini menjadi tugas setiap muslim yang telah memahami pentingnya Islam dan hakikat perubahan, untuk menyadarkan umat Islam. Sehinggaa terbentuklah kesadaran dan pemahaman yang benar di tengah tengah umat, lalu umat dengan sukarela menginginkan Islam sebagai satu satunya jalan menuju perbaikan dan perubahan hakiki.
Wallahu'alam bishshawab.
Via
Opini
Posting Komentar