Opini
Efisiensi Anggaran: Solusi atau Masalah Baru?
Oleh: Sarah Fauziah Hartono
(Sahabat Tanah Ribath Media)
TanahRibathMedia.Com—Pemerintahan Presiden Prabowo Subianto telah menginstruksikan efisiensi anggaran dalam tiga tahap dengan total penghematan mencapai Rp750 triliun. Pada tahap pertama, telah dihemat Rp300 triliun, sementara tahap kedua direncanakan sebesar Rp38 triliun. Tahap ketiga, yang melibatkan Badan Usaha Milik Negara (BUMN), menargetkan dividen sebesar Rp300 triliun (metrotvnews.com, 16-02-2025).
Kebijakan ini bertujuan untuk memberikan manfaat nyata bagi masyarakat, terutama melalui program Makan Bergizi Gratis (MBG), yang berfokus pada pencegahan kelaparan di kalangan anak-anak. Sebagian dana lainnya dialokasikan ke Badan Pengelola Investasi untuk dikelola sebagai investasi jangka panjang (kompas.com, 16-02-2025).
Namun, kebijakan ini menuai kritik karena pemangkasan anggaran justru banyak menyasar sektor vital, seperti infrastruktur, pendidikan tinggi, dan riset (tirto.id, 13-02-2025).
Bahkan, proyek-proyek pembangunan yang sangat dibutuhkan masyarakat, seperti perbaikan jalan dan bendungan, harus ditunda (metrotvnews.com, 16-02-2025).
Ironisnya, program MBG yang menjadi prioritas utama pun tidak luput dari permasalahan. Contohnya, ribuan siswa di Sumenep, Jawa Timur, mengalami pemberhentian bantuan MBG pada 17 Februari lalu (Kompas.tv, 16-02-2025).
Hal ini menimbulkan pertanyaan, apakah efisiensi anggaran benar-benar dilakukan demi kesejahteraan rakyat atau justru memperburuk kondisi masyarakat?
Terdapat ketimpangan dalam penerapan efisiensi ini. Beberapa sektor yang lebih mendesak untuk dipangkas, seperti anggaran pertahanan dan pengadaan alat utama sistem persenjataan (alutsista), justru tidak tersentuh (tempo.co, 7-02-2025). Hal ini menunjukkan bahwa kebijakan yang diterapkan lebih berpihak kepada kepentingan tertentu dibandingkan dengan kepentingan rakyat.
Efisiensi anggaran dalam sistem kapitalisme memang sering kali mengorbankan kesejahteraan masyarakat demi kepentingan kelompok tertentu dan korporasi besar.
Dalam sistem Islam, kesejahteraan rakyat menjadi tanggung jawab penuh negara. Seorang pemimpin dalam Islam, atau khalifah, bertugas sebagai pengurus umat yang harus memastikan seluruh kebutuhan rakyat terpenuhi.
Berbeda dengan sistem kapitalisme yang bergantung pada utang dan pajak sebagai sumber pendapatan negara, Islam memiliki sistem keuangan yang kuat dan mandiri. Sumber pendapatan negara dalam Islam terdiri dari tiga sektor utama: kepemilikan individu (zakat, sedekah, hibah), kepemilikan umum (sumber daya alam seperti minyak, gas, dan tambang), serta kepemilikan negara (jizyah, kharaj, dan usyur).
Dalam pengelolaan anggaran, Islam menetapkan pos-pos pengeluaran berdasarkan prinsip keadilan dan kemaslahatan umat. Anggaran belanja negara dialokasikan untuk kepentingan wajib, seperti jihad, kesejahteraan fakir miskin, gaji pegawai negeri, serta pembangunan infrastruktur vital seperti jalan, jembatan, sekolah, dan rumah sakit. Selain itu, negara juga menyediakan anggaran untuk kebutuhan darurat, seperti bantuan bencana alam dan krisis pangan.
Jika kas negara mengalami defisit, Islam mengatur mekanisme yang tetap berpihak kepada rakyat tanpa harus mengandalkan pajak tinggi atau utang luar negeri yang membebani generasi mendatang. Dengan demikian, sistem ekonomi Islam menawarkan solusi yang lebih adil dan berkelanjutan dibandingkan dengan kebijakan efisiensi anggaran dalam sistem kapitalisme. Negara dalam sistem Islam tidak hanya memastikan efisiensi dalam pengelolaan anggaran, tetapi juga menjamin kesejahteraan rakyat tanpa mengorbankan sektor-sektor vital.
Oleh karena itu, jika ingin mewujudkan kesejahteraan sejati, sudah saatnya mempertimbangkan sistem yang berlandaskan syariat Islam sebagai solusi hakiki atas permasalahan ekonomi saat ini.
Via
Opini
Posting Komentar