Opini
Hancurnya Mentalitas Generasi, Siapa yang Bertanggung Jawab?
Oleh: Masyitah Yamin
(Aktivitas Muslimah Dompu)
TanahRibathMedia.Com—Kesehatan mental kini telah menjadi masalah serius. Data Badan Kependudukan dan0 Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) menunjukkan bahwa sekitar 15,5 juta jiwa atau setara 34,9 persen remaja Indonesia memiliki masalah kesehatan mental. Wakil menteri kependudukan Ratu Ayu Isyana Bagus Oka sebagai wakil menteri kependudukan turut menyampaikan bahwa generasi muda memang menghadapi tantangan yang semakin kompleks, kesehatan mental salah satunya. Langkah krusial untuk merespon kondisi tersebut di antaranya dengan menguatkan karakter generasi muda. Langkah tersebut sekaligus menjadi persiapan menghadapi bonus demografi menuju Indonesia emas 2045 (Tempo.com, 15-2-2025).
Gangguan Mental, Buah Sekularisme
Banyak faktor yang melatarbelakangi tingginya angka remaja mengalami gangguan mental. Pertama, faktor struktural, misalnya masalah kesenjangan ekonomi. Di mana dalam ekonomi kapitalisme yang berbasiskan pada nilai-nilai sekularisme, menyebabkan terjadinya kesenjangan sosial. Sistem ini telah meniscayakan adanya kemiskinan, pengangguran, stres, depresi, dan sikap fatalisme pada generasi. Sehingga, motivasi generasi untuk mendapatkan keinginannya berupa nilai materi, banyak yang memenuhinya dengan cara instan. Misalnya, terlibat PSK, pinjol, sampai judol. Sesuatu yang haram tidak dipedulikannya asalkan keinginanya bisa terpenuhi.
Sebagaimana menurut PPATK (Pusat Pelaporan Analisi Transaksi Keuangan) Ivan Yustiavandana, sebanyak 191. 380 anak direntang usia 17-19 tahun terlibat judi online dengan 2,1 juta transaksi mencapai Rp 282 miliar. Dan mirisnya lagi, sebanyak 1.160 anak berusia kurang dari 11 tahun diketahui telah melakukan transaksi sekurangnya Rp 3 miliar. Ada juga 4.514 anak usia 11-16 tahun, melakukan transaksi judol bernilai total Rp 7,9 miliar.
Hal tersebut menjadi pembenaran adanya dampak atas rusaknya mental generasi muda saat ini. Maka, harapan Indonesia mewujudkan Indonesia emas di tahun 2045 sangatlah jauh. Sebab, generasi Indonesia sedang menghadapi masalah sistemik yang mampu merusak generasi saat ini.
Kedua, masalah pendidikan. Kurangnya akses pendidikan adalah masalah yang sangat serius dihadapi generasi masa kini. Betapa tidak, banyak generasi yang putus sekolah akibat faktor ekonomi. Biaya sekolah yang sangat tinggi, menjadikan mereka putus asa untuk melanjutkan studi mereka. Adapun yang melanjutkan studinya juga dihadapkan pada keterbatasan fasilitas pendidikan, keterbatasan akses teknologi, kurikulum yang tidak relevan. Bahkan, pendidikan saat ini tidak dapat membentuk kepribadian yang berkarakter baik.
Seharusnya pendidikan dapat membentuk perilaku yang baik pada remaja. Namun, kenyataanya tanpa disadari atau pun tidak pendidikan sekuler saat ini membentuk remaja berperilaku bebas yang membuatnya gagal dalam membentuk jati dirinya untuk lebih baik. Para remaja mengalami kebingungan di dalam menyelesaikan segala permasalahan kehidupannya secara benar.
Ketiga, yakni transformasi sosial dan budaya. Perubahan sosial dan budaya dapat mempengaruhi kesehatan mental generasi, terutama jika perubahan tersebut tidak sesuai dengan nilai-nilai yang sejalan dengan fitrah generasi. Faktor budaya liberalisme dan hedonisme dapat menjadi salah satu penyebab kerusakan mental generasi saat ini. Kurangnya nilai-nilai moral dan spiritual generasi menjadikan mereka cenderung melekat dengan budaya liberalisme dan hedonisme.
Selain itu, dalam standar kebahagiaan diukur dengan pencapaian materi tanpa memperhitungkan aspek kejiwaan. Ditambah lagi dengan media sosial yang terus menampilkan budaya hedonisme fleksi. Antara realitas dan tontonan menghasilkan tekanan jiwa sehingga jiwa manusia kering dan rapuh dari nilai Islam. Maka, manusia pun akan muda marah melakukan kekerasan untuk melampiaskan emosi dan menyakiti dirinya sendiri bahkan bunuh diri.
Banyaknya remaja yang terkena penyakit mental, menunjukkan gagalnya negara membina generasi. Generasi emas 2045 mustahil terwujud jika kondisi ini terus dibiarkan. Gangguan mental remaja sejatinya dampak dari penerapan sistem sekulerisme dala. berbagai aspek. Karena bangunan kehidupannya atas dasar sekularisme yaitu pemisahan agama dengan kehidupan.
Islam Menjaga Jiwa Manusia
Kehidupan Islam dibangun atas dasar akidah Islam. Makna kebahagiaan seorang muslim diukur berdasarkan ridha Allah Swt. Ketika akidah Islam dijadikan sebagai standar dalam setiap diri muslim, maka tidak akan ada realitas rapuhnya jiwa manusia dalam sistem Islam sebagaimana dalam sistem sekularime.
Karena seorang muslim yang sejati akan memiliki kesadaran akan hubungannya dengan Allah Swt. dalam seluruh aspek kehidupannya. Sikap ini yang menjadikan seorang Muslim memiliki jiwa yang kuat dan tidak mudah rapuh. Berbagai masalah akan mampu dihadapi dengan tenang dan lapang dada karena ada Allah yang selalu menjaganya.
Kepemimpinan Islam bertanggung jawab melahirkan generasi cemerlang dan berkualitas, melalui penerapan berbagai sistem kehidupan sesuai dengan syariat Islam. Islam mewajibkan negara membangun sistem pendidikan yang berasas akidah Islam. Negara juga wajib menyiapkan orang tua dan masyarakat untuk mendukung proses pembentukan generasi. Pembangunan peradaban Islam yang mulia dan bermental kuat. Bahkan negara akan menjauhkan remaja dari segala pemikiran yang bertentangan dengan Islam yang menyebabkan remaja blunder dengan persoalan hidupnya. Penerapan Islam secara keseluruhan akan dirasakan jika diterapkan syariat Islam di bawah naungan Khilafah.
Wallahu'alam bisshowab.
Via
Opini
Posting Komentar