Opini
Jalan Rusak Memakan Korban Jiwa, di Mana Peran Negara?
Oleh: Ummu Hamzah
(Sahabat Tanah Ribath Media)
TanahRibathMedia.Com—Viral dua wanita berboncengan sepeda motor tewas tertabrak truk gegara mengerem mendadak saat menghindari lubang di jalan Pantura Batang, Jum'at (7-2-2025). Di hari yang sama tepatnya pukul 00.30 dini hari, seorang wanita pengendara sepeda motor mengalami kecelakaan dengan luka parah di sebagian tubuhnya setelah terjatuh di jalan berlubang. Peristiwa tersebut juga terjadi di jalan Pantura Batang, dekat RS QIM Kabupaten Batang (detik.com, 7-2-2025).
Masalah jalan rusak hampir setiap tahun menjadi sorotan. Seperti yang terjadi pada sepanjang jalan nasional Pantura Jawa Tengah yang akhir-akhir ini kondisinya sangat memprihatikan. Tercatat ada beberapa wilayah yang mengalami kerusakan jalan parah diantaranya Pekalongan, Batang, Kendal, Semarang, hingga Demak. Kondisi jalan yang berlubang dan tergenang air ketika hujan banyak dikeluhkan oleh para pengguna jalan. Tak jarang banyak korban berjatuhan, bahkan ada yang sampai meninggal dunia. Meskipun demikian penanganan masalah jalan rusak seperti berjalan lambat. Terlebih lagi setelah anggaran perawatan jalan dipangkas oleh pemerintah pusat.
Akibat Sistem Kapitalisme
Sebenarnya pemerintah sudah menyediakan jalan Tol yang bagus dan mulus, setidaknya lebih layak dilewati ketimbang jalanan pada umumnya. Tapi kita semua tahu bahwa jalan Tol tidaklah gratis. Dan tidak semua kendaraan bisa melewati jalan Tol. Jalan Tol juga menjadi solusi dari pemerintah untuk kendaraan berat yang Over Dimension Over Loading (ODOL) agar tidak melintasi jalan umum, karena keberadaan ODOL menjadi salah satu penyebab jalan rusak disamping intensitas hujan yang tinggi. Tapi, kemungkinan besar uang saku sang supir tidak sebanyak uang saku para pejabat, sehingga mereka sesekali tetap melintasi jalan umum.
Hal semacam ini sangatlah wajar terjadi di negara yang menerapkan sistem kapitalisme. Di dalam sistem ini keberadaan negara hanya untuk memuluskan kepentingan para pemilik modal saja. Tercatat ada banyak jalan Tol di Indonesia yang dimiliki oleh konglomerat kelas kakap. Sekalipun ada jalan Tol milik BUMN, tapi kenyataannya negara membuat jalan tersebut sebagai sarana penunjang proyek strategis yang digarap untuk kepentingan kapitalis. Dengan kata lain negara dalam sistem kapitalisme hanya menjadi legulator saja.
Alih-alih menyediakan jalan umum yang layak dan gratis, negara malah menawarkan jalan Tol yang tarifnya kian hari kian naik. Tentu ini menjadi beban tersendiri bagi masyarakat, khususnya bagi orang-orang yang setiap hari menggunakan jalan Tol sebagai akses mobilitasnya. Dengan adanya tarif Tol yang semakin mahal juga akan menambah beban operasional sehingga akan berimbas kepada kenaikan harga pada barang-barang yang dikirim lewat jalur Tol. Dan hal ini terjadi ketika kondisi ekonomi masyarakat sedang tidak bisa diatasi.
Tanggung jawab negara dalam menyediakan jalanan yang layak juga hanya sekadar retorika belaka. Nyatanya, hari ini anggaran perawatan jalan dipangkas sebagai imbas dari efisiensi anggaran oleh pemerintah pusat. Diketahui bahwa anggaran Kementerian Pekerjaan Umum (PU) yang dipangkas sebesar 81.38 triliun. Melihat angka yang tidak sedikit itu, masyarakat khawatir pendanaan perawatan jalan menjadi macet yang tentu hal ini akan memperparah kondisi jalan yang rusak.
Jika anggaran sebelumnya saja masih belum bisa menyelesaikan permasalahan jalan rusak, apalagi jika anggaran dipangkas. Jelas, dalam hal ini negara tidak ada itikad baik untuk menjamin keselamatan para pengguna jalan.
Kembali ke Sistem Islam
Jika sudah terbukti bahwa kapitalisme tidak bisa menyelesaikan masalah jalan rusak sampai tuntas, maka solusi yang pas adalah dengan beralih ke sistem Islam. Syaikh Abdul Qadim Zallum dalam buku Sistem Keuangan Negara Khilafah, membagi infrastruktur dari sisi kepemilikan menjadi 3 jenis.
Pertama, infrastruktur milik umum.
Jenis ini terbagi menjadi dua yaitu:
1. Jalan-jalan umum dan yang sejenisnya.
2. Pabrik/ industri yang berhubungan dengan kepemilikan umum.
Kedua, infrastruktur milik negara yang disebut marafiq. Marafiq adalah bentuk jamak dari mirfaq, yaitu seluruh sarana yang dapat dimanfaatkan; meliputi sarana yang ada di pedesaan, propinsi maupun yang dibuat oleh negara selama sarana tersebut bermanfaat dan dapat membantu.
Ketiga, infrastruktur yang bisa dimiliki oleh individu. Seperti industri berat dan senjata, landasan pesawat terbang, sarana transportasi seperti bus dan pesawat terbang serta yang lainnya.
Dalam hal ini, infrastruktur yang masuk kategori milik umum harus dikelola oleh negara dan dibiaya dari dana milik umum. Bisa juga dari dana milik negara, tetapi negara tidak boleh mengambil keuntungan dari pengelolaannya. Walaupun ada pungutan, hasilnya harus dikembalikan kepada rakyat sebagai pemiliknya dalam bentuk yang lain. Ini termasuk juga membangun infrastruktur atau sarana lain yang menjadi kewajiban negara untuk masyarakat seperti sekolah-sekolah, perguruan tinggi, rumah sakit, jalan-jalan umum, dan sarana-sarana lain yang lazim diperuntukkan bagi masyarakat sebagai bentuk pengaturan dan pemeliharaan urusan mereka. Dalam hal ini, negara tidak mendapat pendapatan sedikit pun. Yang ada adalah subsidi terus-menerus. Jadi, sama sekali tidak ada pos pendapatan dari sarana-sarana ini.
Dari sini jelaslah bahwa negara dalam sistem Islam bertanggung jawab penuh atas ketersediaan jalan umum yang layak untuk dilalui. Jika pun terjadi penurunan kualitas jalan, negara akan segera memperbaikinya dengan dana milik umum. Begitulah sistem ekonomi Islam bekerja, dengan adanya pembagian pos pemasukan, pengeluaran, maupun distribusi yang sudah sesuai dengan hukum syara'. Sehingga masalah pendanaan bisa teratasi dengan baik.
Khatimah
Sesungguhnya Allah Swt. telah memberikan solusi atas segala permasalahan yang kita hadapi. Namun kadangkala kita enggan untuk mengambilnya. Walhasil yang terjadi adalah kerusakan dan kesengsaraan hidup yang tiada henti. Maka dari itu, sudah sepatutnya kita kembali kepada syari'at Allah, menerapkannya secara kaffah dalam bingkai Daulah Khilafah Islamiyyah.
Wallahu 'alam bii sawab.
Via
Opini
Posting Komentar