Opini
Kelangkaan Gas: Kebijakan Bias, Keadilan pun Kandas
Oleh: Salsabila Isfa Ayu K
(Sahabat Tanah Ribath Media)
TanahRibathMedia.Com—Kelangkaan gas elpiji 3 kg kembali terjadi, warga mengeluhkan betapa sulitnya mendapatkan gas bersubsidi tersebut. Di beberapa daerah, warga rela antri berjam jam demi mendapatkan gas. Menurut menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) yang terjadi bukanlah kelangkaan, melainkan transisi sistem distribusi gas elpiji.
Sebelumnya Menteri ESDM, Bahlil Lahadalia mengumumkan kebijakan terkait distribusi gas elpiji 3 kg. Mulai tanggal 1 Februari 2025, gas elpiji bersubsidi tidak boleh di jual di tingkat pengecer. Masyarakat hanya boleh membeli gas di pangkalan resmi yang telah terdaftar oleh Pertamina. Menurutnya, kebijakan ini sebagai langkah untuk memastikan distribusi gas elpiji bersubsidi tepat sasaran.
Kebijakan ini kemudian menimbulkan kegaduhan, menuai banyak komentar, dan kritik dari berbagai pihak. Melihat bagaiamana dampak yang harus diterima oleh rakyat kecil, terutama masyarakat yang tinggal di pelosok. Menanggapi hal ini, Presiden Probowo memberikan reaksi cepat. Melalui DPRRI ia menyatakan bahwa gas elpiji boleh diperjualbelikan di pengecer. Pernyataan ini seolah menjadi penyelamat bagi keresahan masyarakat, seolah menunjukkan bahwa pemimipin negeri ini berpihak pada rakyat.
Namun dibalik itu menyisakan pertanyaan, mengapa muncul reaksi yang begitu cepat dari presiden? Jika kebijakan tentang sistem distrubusi gas elpiji 3 kg sudah dibahas dengan matang, seharusnya tidak ada perubahan yang mendadak setelah ditetapkan. Selain itu, apabila kebijakan ini sudah dibicarakan dengan matang dan demi kepentingan rakyat, tentu segala persiapan logistik, dan mekanismenya sudah siap. Sehingga tidak akan terjadi kelangkaan dan menimbulkan kepanikan masyarakat.
Adanya kontradiksi antara pernyataan menteri ESDM yang semula melarang penjualan gas elpiji 3 kg di pengecer, namun dalam hitungan hari Presiden mengizinkannya. Hal ini menimbulkan pertanyaan, bagaiamana koordinasi komunikasi dalam internal pemerintahan?
Pun juga berubah ubahnya kebijakan menunjukkan lemahnya perencanaan dalam mengelola kebijakan publik. Ini bukan pertamakalinya terjadi, pemerintah seringkali menimbulkan kegaduhan dan kebingungan masyarakat. Sebelumnya wacana soal kenaikan Pajak Pertambahan Nilai PPN 12 persen yang semula diberlakukan secara umum menimbulkan kritik dan protes dari berbagai pihak, lalu tidak lama kemudian muncul pernyataan dari Presiden yang membatasi kenaikan PPN 12 persen hanya berlaku untuk barang barang mewah.
Pemerintah seringkali membuat kebijakan yang kontroversial dulu, kemudian pemimpin tertinggi hadir dengan pernyataannya yang seolah berpihak pada rakyat. Dengan pola ini, pemimpin berhasil menciptakan kesan di tengah masyarakat bahwa pemimpin mereka adalah sosok pemimpin yang peduli dan responsif. Lantas melupakan esensi kebijakan yang semestinya perlu dipertanyakan. Mengapa kebijakan yang baru saja diterapkan mendadak berubah dalam hitungan hari?
Berubah-ubahnya kebijakan publik bukan hanya sekedar kesalahan teknis, melainkan cerminan dari sistem kapitalisme. Di bawah sistem kapitalisme, kebijakan seringkali lebih berpihak pada korporasi besar daripada masyarakat kecil. Dalam sistem kapitalisme, negara hanya bertindak sebagai regulator yang membuat kebijakan, bukan pelindung rakyat. Kebijakan terkait sistem distribusi gas elpiji 3 kg menunjukkan bahwa pemerintah hanya fokus pada mekanisme pasar dan efesiensi distribusi, daripada memastikan rakyat mendapatkan haknya tanpa kesulitan. Lagi lagi rakyat kecil yang harus menanggung beban kesulitan, menjadi korban uji coba kebijakan dalam kapitalisme. Menghadapi ketidakpastian kebijakan yang membingungkan, sementara elit politik dan corporate tetap hidup nyaman dan tenang.
Sampai kapan masyarakat akan terus terjebak dalam siklus ini?
Masyarakat harus bisa lebih kritis dalam melihat realitas politik hari ini, menggunakan sudut pandang yang tepat untuk menilai dan membedah kebijakan yang diterapkan. Satu-satunya kaca mata yang tepat untuk melihat setiap fakta dan realitas hari ini adalah Islam. Maka masyarakat harus membiasakan diri memandang segala sesuatu sebagaimana Islam memandang.
Dalam Islam, kebijakan yang menyangkut kebutuhan dasar rakyat harus berlandaskan pada prinsip keadilan, dan kemashlahatan. Kebijakan yang sering berubah ubah, menciptakan kebingungan rakyat, bahkan tidak mempertimbangkan dampaknya, maka perlu dikaji ulang dan di kritisi dengan berlandaskan pada prinsip prinsip Islam.
Pertama, prinsip keadilan. Islam mengajarkan bahwa pengelolaan Sumber Daya Alam wajib di kelola oleh negara, dan hasilnya diperuntukkan untuk memenuhi hak dan kebutuhan rakyat. SDA yang menyangkut kebutuhan umum rakyat tidak boleh di kelola oleh individu atau kelompok, hal ini untuk mencegah terjadinya monopoli dan ketimpangan ekonomi.
Sebagaimana Rasulullah ï·º bersabda:
"Kaum Muslimin berserikat dalam tiga hal: air, padang rumput, dan api" (HR. Abu Dawud dan Ahmad).
Gas elpiji termasuk dalam kategori "api" (energi) yang dalam pengelolaannya harus di kelola oleh negara dengan sistem yang adil, transparan dan berpihak pada kepentingan umat.
Kedua, prinsip kemashlahatan umat. Kebijakan yang sering berubah ubah akan menimbulkan keresahan dan kebingungan di tengah masyarakat. Selain itu, kebijakan distrubusi gas elpiji 3kg akan membuat rakyat kecil semakin sulit mendapatkan akses energi yang terjangkau. Hal ini menunjukkan ada ketimpangan dalam hal tujuan syari'at yaitu untuk menjaga harta dan jiwa, yang seharusnya menjadi perhatian utama dalam kebijakan publik.
Khatimah
"Setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggungjawaban atas yang dipimpinnya." (HR. Bukhari dan Muslim)
Jika kebijakan publik sering berubah-ubah tanpa perhitungan matang, ini menunjukkan bahwa pemegang kebijakan tidak menjalankan amanahnya dengan baik. Pemerintah yang ideal dalam Islam adalah yang mampu membuat kebijakan yang stabil dan untuk jangka panjang. Bukan kebijakan yang inkonsisten, berubah ubah, dan membingungkan rakyat.
Seorang pemimpin akan dimintai pertanggungjawaban tentang bagaiamana ia memimpin rakyatnya. Apakah ia berlaku adil, ataukah dzalim dari kebijakan yang diambil, dan bagaimana mereka mengelola amanah, sampai respons pemimpin terhadap kebutuhan rakyat.
Sungguh keadilan sejati hanya bisa terwujud ketika seorang pemimpin menerapkan aturan yang berasal dari wahyu Allah, bukan dari hawa nafsu manusia. Islam menetapkan keadilan sebagai prinsip utama dalam kepemimpinan dan hukum, tanpa membeda-bedakan status sosial, kekayaan, atau kekuasaan.
Allah berfirman: "Sesungguhnya Allah menyuruh kamu berlaku adil dan berbuat kebajikan..." (TQS. An-Nahl: 90)
Via
Opini
Posting Komentar