Opini
Kesejahteraan Dosen dan Mahasiswa: Tidak Akan Terwujud dalam Sistem Kapitalisme
Oleh: Sarah Fauziah Hartono
(Sahabat Tabah Ribath Media)
TanahRibathMedia.Com—Dalam beberapa waktu terakhir, isu penghapusan tunjangan kinerja dan profesi dosen menjadi sorotan. Seperti yang ditulis dalam Tempo.co (9-1-2025), Kementerian Pendidikan Tinggi menyatakan bahwa perubahan nomenklatur kementerian serta keterbatasan anggaran menjadi alasan utama kebijakan tersebut.
Pemisahan antara Kementerian Pendidikan Dasar-Menengah dan Pendidikan Tinggi di era Presiden Jokowi berdampak pada pengelolaan anggaran. Sayangnya, para dosen menganggap alasan ini tidak masuk akal, mengingat kementerian lain yang mengalami pemisahan tetap mendapatkan tunjangan. Akibatnya, aksi protes mewarnai dunia pendidikan tinggi.
Dalam Kompas.com (7-1-2025), Anggun menyatakan bahwa hal tersebut bukan hanya penundaan semata, tetapi sudah termasuk dalam pengabaian hak dosen. Ia juga menyatakan kalau alasan tersebut merupakan bukti lemahnya komitmen yang diberikan oleh pemerintah.
Selain itu, mahasiswa juga menghadapi tantangan berat. Kebijakan terkait beasiswa KIP (Kartu Indonesia Pintar) semakin ketat, dengan penurunan drastis kuota dan syarat yang lebih selektif. Hanya tujuh kategori mahasiswa yang dapat mengikuti seleksi penerimaan KIP (Kompas.com, 10-1-2025). Hal ini membuat akses pendidikan bagi mahasiswa tidak mampu semakin sulit.
Kombinasi dari tekanan ekonomi kapitalisme, kenaikan harga kebutuhan pokok, serta kebijakan pendidikan yang tidak pro-rakyat semakin menambah beban hidup dosen dan mahasiswa.
Dalam sistem kapitalisme, pendidikan sering kali diperlakukan sebagai komoditas. Negara berlepas tangan dari tanggung jawab utama untuk menjamin akses pendidikan bagi semua rakyat.
Kebijakan berbasis konsep "good governance" lebih menekankan efisiensi dan profit, sehingga kesejahteraan pendidik dan hak-hak mahasiswa sering kali terabaikan. Paradigma ini menciptakan jurang ketimpangan yang semakin lebar antara kebutuhan rakyat dan tanggung jawab negara.
Berbeda dengan kapitalisme, Islam memandang pendidikan sebagai kebutuhan mendasar yang harus dijamin oleh negara. Dalam pandangan Islam, pendidikan adalah sarana pembentukan generasi yang berkepribadian mulia dan memiliki kemampuan memimpin peradaban.
Oleh karena itu, negara dalam sistem Islam bertanggung jawab penuh menyediakan pendidikan berkualitas bagi seluruh rakyatnya.
Hadis Nabi Muhammad saw. yang berbunyi, “Imam (pemimpin) adalah pengurus rakyat dan bertanggung jawab atas rakyatnya” (HR. Bukhari).
Hal ini menegaskan kewajiban negara untuk memastikan kesejahteraan rakyat, termasuk dalam sektor pendidikan. Negara Islam (Khilafah) menyediakan infrastruktur, tenaga pengajar ahli, dan gaji layak untuk pendidik melalui anggaran Baitul Mal.
Pada masa kejayaan Khilafah Abbasiyah, misalnya, dosen dan ulama mendapatkan gaji setara dengan miliaran rupiah per tahun, menjamin kehidupan mereka sehingga dapat fokus mengembangkan ilmu pengetahuan.
Selain itu, sumber pendanaan pendidikan di dalam Islam diperoleh dari kepemilikan umum, seperti pengelolaan sumber daya alam, serta kontribusi wakaf pendidikan dari masyarakat.
Sistem ini tidak hanya memastikan anggaran pendidikan yang besar, tetapi juga mendorong terciptanya budaya berbagi demi kemajuan ilmu pengetahuan.
Dengan sistem ini, dosen akan sejahtera, mahasiswa mendapatkan akses pendidikan berkualitas, dan seluruh rakyat menikmati layanan pendidikan yang merata. Hanya melalui penerapan sistem Islam, visi pendidikan yang adil dan berkualitas dapat terwujud.
Via
Opini
Posting Komentar