Opini
Korupsi Tak Terbendung, Bukti Kegagalan Sistem Kapitalisme-Demokrasi
Oleh: Riza Maries Rachmawati
(Sahabat Tanah Ribath Media)
TanahRibathMedia.Com—Praktik korupsi di negeri ini seolah telah mengakar dan membudaya baik dari tingkat jabatan paling bawah maupun tingkat paling atas. Dari tahun ke tahun dengan kepemimpinan yang silih berganti kasus korupsi ini tidak pernah surut. Keberadaan lembaga pemberatan korupsi pun tidak membawa pengaruh yang besar atas berkurang atau hilangnya kasus korupsi di negeri ini. Presiden Republik Indonesia yang baru Prabowo Subianto mengakui tingkat korusi di Indonesia sudah mengkhawatirkan dan telah menjadi masalah dasar dari penurunan di semua sektor.
Kekhawatiran presiden atas tingkat korupsi di Indonesia tersebut disampaikannya dalam forum dunia World Goverments Summit 2025. Presiden pun bertekad untuk menggunakan seluruh energi dan wewenang yang dimiliki untuk mencoba mengatasi korupsi yang dinilainya sebagai penyakit serta akar dari seluruh penurunan kinerja di berbagai sektor tersebut. Tata kelola pemerintahan yang baik menurut Prabowo menjadi kunci membasmi korupsi. Penghematan anggaran yang dilakukan Presiden Prabowo di 100 hari pemerintahannya menjadi penanda dimulainya upaya pemberantasan korupsi ini (kumparan.com, 14-02-2025).
Kapitalisme Pangkal Masalah Korupsi
Sungguh amat disayangkan pernyataan untuk menghapus korupsi tidak sejalan dengan kenyataan di lapangan. Pada akhir tahun 2024 Presiden Prabowo sempat memunculkan wacana memberikan maaf bagi para koruptor dengan syarat mengembalikan kepada negara uang hasil korupsinya. Padahal dengan mengembalikan uang hasil korupsi tidak lantas menghilangkan hukuman pidananya.
Memang banyak faktor yang menyebabkan seseorang melakukan tindak korupsi, di antaranya adanya moral yang buruk pada individu. Seperti yang dikemukan oleh penulis Jack Bologna dalam teori Gone, bahwa seseorang yang korupsi pada dasarnya tidak pernah merasa puas dan serakah. Namun perlu dipahami bersama bahwa akar akar masalah tindak korupsi bukan terletak pada moral individu pejabat saja melainkan pada sistem yang diterapkan.
Faktanya negara ini menerapkan sistem kapitalisme yang orientasi kepemimpinannya meraih keuntungan materi sebanyak-banyaknya. Konsep kepemimpinan seperti ini membuka peluang terjadinya korupsi secara sistematik, baik di berbagai bidang, level, serta jabatan pemilik modal yang mendapat proyek dari negara. Sistem kapitalisme mengadopsi sistem politik demokrasi yang secara konsep kedaulatan hukum di sistem demokrasi ada di tangan manusia sehingga para pejabat bisa mengotak-atik hukum yang dibuat sesuai kepentingan.
Sedangkan secara praktik, sistem demokrasi adalah sistem politik yang mahal sehingga membuka peluang para oligarki memodali pemilihan wakil rakyat dan pejabat. Sehingga siapa pun yang jadi pemimpin pasti akan tunduk pada pemilik modal. Akhirnya negara lemah di hadapan oligarki, semua kebijakan negara dibuat untuk menguntungkan pemilik modal. Sementara pejabat negara memanfaatkan kekuasaannya untuk mengembalikan modal dengan cara-cara yang culas seperti korupsi. Alhasil, lagi-lagi rakyatlah yang menjadi korban.
Sistem Islam Memberantas Korupsi
Sungguh jauh berbeda dengan Islam yang menjadikan akidah dan ketakwaan sebagai landasan dalam menjalani kehidupan bahkan dalam kehidupan bernegara. Sistem Islam yang akan diterapkan secara kaffah oleh institusi negara yaitu Daulah Khil4f4h akan mampu menutup rapat-rapat celah korupsi bahkan memungkinkan hilangnya kasus korupsi. Khil4f4h memiliki mekanisme dalam mencegah dan memberantas praktik korupsi ini, yaitu: pertama, diawali dari mekanisme sistem politik. Sistem politik Islam tidak mahal dan sangat sederhana. Rentang waktu kekosongan posisi khalifah sangat singkat maksimal 3 hari 3 malam, sehinga kaum muslimin harus melakukan pemilihan dan pembai’atan khalifah.
Kepemimpinan Islam bersifat tunggal, pengangkatan, dan pencopotan pejabat negara menjadi kewenangan khalifah. Konsep politik yang seperti ini tidak akan memunculkan persekongkolan mengembalikan modal dan keuntungan kepada cukong politik. Inilah yang mencegah adanya praktik korupsi. Kemudian kualifikasi rekrutmen pegawai negara wajib berdasarkan profesionalitas dan integritas bukan berdasarkan koneksitas, nepotisme, atau praktek balas budi. Para pegawai negara wajib memenuhi kriteria kapabilitas dan berkepribadian Islam.
Selanjutnya khilafah wajib memberikan gaji dan fasilitas yang layak kepada para pegawainya. Itu adalah perintah dari Rasulullah saw. Beliau bersabda:
“Siapa saja yang bekerja untuk kami, tapi tak punya rumah, hendaklah dia mengambil rumah. Kalau tak punya istri, hendaklah dia menikah. Kalau tak punya pebantu atau kendaraan, hendaklah ia mengambil pembantu atau kendaraan.” (HR. Ahmad).
Abu Ubaidah pernah berkata kepada Umar, “Cukupilah para pegawaimu, agar mereka tidak berkhianat.”
Kedua, melalui mekanisme sistem pendidikan Islam yang bertujuan membentuk generasi bersyakhsiyah Islamiyah. Pola pikir atau akliyah dan pola sikap atau nafsiyah mereka diarahkan agar berlandaskan kepada syariat Islam. Dengan begitu generasi akan memiliki kemampuan untuk mengendalikan diri agar menjauhi kemaksiatan seperti tidak amanah jabatan, melakukan korupsi, dan sebagainya.
Generasi yang dihasilkan dari sistem pendidikan ini pun adalah generasi yang profesional dan memiliki integritas yang tinggi. Sehingga generasi tersebut akan siap untuk menjadi pegawai negara yang memenuhi kriteria kifayah (kapabilitas) dan berkepribadian Islam (Syakhsiyah Islamiyah). Nabi saw. pernah bersabda: “Jika urusan diserahkan kepada yang bukan ahlinya, maka tunggulah hari kiamat.” (HR. Bukhari)
Ketiga, melalui mekanisme kontrol masyarakat Islam. Masyarakat Islam yang memiliki perasaan, pemikiran, dan aturan yang sama menjadikan amar ma’ruf nahi munkar menjadi budaya. Melalui budaya baik ini celah keculasan di entitas masyarakat tidak akan mendapatkan tempatnya. Karena masyarakat tidak akan segan-segan untuk mencegah keculasan tindak korupsi ini terjadi. Mereka akan senantiasa melakukan aktvitas dakwah dengan senantiasa memberikan nasehat kepada kebaikan dan mencegah dari kemungkaran.
Keempat, melalui mekanisme hukum sanksi Islam yang tegas dan menjerakan. Khilafah juga menetapkan kebijakan para pegawai negara haram menerima suap dan hadiah. Hal ini berdasarkan perintah Rasulullah saw. dalam haditsnya, “Hadiah yang diberikan kepada para penguasa adalah suht (haram) dan suap yang diterima hakim adalah kekufuran.” (HR. Ahmad)
Selain itu khilafah memiliki kebijakan yang unik untuk menelusuri pegawainya tidak terlibat tindak korupsi. Khilafah yang melakukan perhitungan kekayaan bagi para pegawai negara di awal dan di akhir jabatannya dan melakukan pembuktian terbalik jika ditemukan penambahan harta yang tidak wajar. Jika masih saja ada pegawai yang korup, maka khilafah akan meberi sanksi Islam (‘uqubat) untuk memberantas korupsi.
Hukuman untuk koruptor masuk kategori ta’zir yaitu hukuman yang jenis dan kadarnya ditentukan oleh hakim. Bentuknya mulai dari yang paling ringan, seperti nasehat atau teguran sampai yang paling tegas yaitu hukuman mati. Berat ringannya hukuman disesuaikan dengan berat ringannya kejahatan. Uqubat bersifat jawabir atau penebus dosa bagi pelaku dan zawajir atau pencegah agar masyarakat tidak melakukan hal yang sama. Sementara harta hasil korupsi menjadi harta ghulul yang akan diambil negara dan dimasukan ke dalam pos kepemilikan negara di Baitul Maal.
Demikianlah daulah khilafah berupaya dengan sunggung-sungguh dalam memberantas kasus korupsi dengan menerapkan semua aturan syariah Islam yang kaffah.
Wallahu’alam bi shawab.
Via
Opini
Posting Komentar