Opini
Retreat Digenjot, di Tengah Anggaran yang Kian Repot
Oleh: Yuke Octavianty
(Forum Literasi Muslimah Bogor)
TanahRibathMedia.Com—Tidak kurang dari 505 kepala daerah terpilih akan mengikuti agenda retreat di Akademi Militer Magelang, pada 21-28 Februari 2025. Bekal sinkronisasi visi misi kepala daerah dengan pemerintah pusat disebut sebagai program utama menuju ketahanan nasional (narasinewsroom.com, 14-2-2025). Sebagaimana retreat yang telah dilakukan atas para menteri pada Kabinet Merah Putih, Oktober 2024 lalu.
Berdasarkan pada Surat Edaran No. 200.5/628/SJ, para kepala daerah akan menginap di lokasi glamping di Borobudur International Golf per 20 Februari 2025. Dalam SE tersebut dirinci bahwa anggaran yang digunakan untuk agenda 8 hari tersebut bersumber dari DIPA Badan Pengembangan SDM Kemendagri Tahun Anggaran 2025. Tidak tanggung-tanggung, agenda ini diperkirakan menelan biaya hingga Rp 10 Milyar.
Kebijakan Paradoks
Di tengah upaya efisiensi anggaran, pemerintah lagi-lagi menetapkan kebijakan kontroversi yang tidak sejalan dengan ketetapan yang ada. Beragam pangkasan biaya operasional kinerja sebagian besar lembaga dan kementerian negara dipangkas besar-besaran. Namun justru kebijakan ini menjadi batu sandungan yang menghambat agenda lainnya.
Kebijakan retreat kepala daerah ini pun mendapat sorotan dari Direktur Komite Pemantau Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD), Herman Nurcahyadi Suparman. Herman mengungkapkan bahwa agenda ini menjadi sesuatu yang tidak efektif saat niatnya untuk sinkronisasi visi misi program daerah dan pusat (pikiranrakyat.com, 17-2-2025). Penyamaan visi misi tidak harus melalui retreat karena pemerintah daerah merupakan pemerintah sipil dan kontrol sepenuhnya sudah ada dalam sistem. Demikian lanjutnya. Tidak hanya itu, dari sisi politik, kepala daerah terpilih, mayoritas berasal dari Koalisi Indonesia Maju dan secara langsung sudah satu komando dengan pemerintah pusat.
Terkait agenda tersebut, pemilik PT Lembah Tidar Indonesia di Magelang, yang disebut sebagai lokasi retreat ini pun, ikut disorot. Lembah Tidar disebut sebagai milik kader Partai Gerindra. Hal ini pun akhirnya menimbulkan spekulasi, perhelatan retreat kepala daerah bukanlah suatu agenda yang kebetulan. Semua sudah disiapkan sesuai dengan kepentingan beberapa pihak tertentu. Dan isu ini pun kian menghangat di tengah agenda efisiensi anggaran negara.
Di tengah repotnya anggaran negara, pemerintah justru menetapkan kebijakan yang tidak efisien. Kebijakan terkait retreat melahirkan kebijakan paradoks yang tidak sejalan dengan kebijakan yang sebelumnya ditetapkan. Keputusan ini tidak sesuai dengan tujuan awal yang ingin dicapai, yakni penghematan anggaran. Sementara di lapang, fakta efisiensi anggaran telah "menelan" banyak korban. Seperti banyak yang di PHK dengan dalih penghematan, adanya pemangkasan anggaran pendidikan, melambatnya kinerja kementrian, pemangkasan anggaran mitigasi bencana, dan pemotongan beberapa pos lainnya.
Tentu saja, kebijakan ini menunjukkan bahwa pemerintah nampak tidak konsisten dengan keputusannya. Dampaknya pun tidak main-main. Pemerintah diprediksi akan mengalami ketidakstabilan dalam kepemimpinan, krisis politik yang timbul dari ketidakpuasan publik dan elite politik, dan menurunnya tingkat kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah.
Inilah kebijakan yang ditetapkan atas konsep populis otoritarian. Kebijakan yang seolah melayani rakyat namun faktanya justru kebalikannya. Tidak hanya itu, kebijakan ini pun dijalankan berdasarkan kepentingan para penguasa, bukan ditetapkan sebagai pelayanan atas kepentingan rakyat. Alhasil, kebijakan yang ada adalah kebijakan plin-plan yang tergesa-gesa. Wajar saja, saat kebijakan efisiensi anggaran akan karut-marut karena digagalkan oleh program yang kontroversi dan bertentangan dengan tujuan di awal. Keuntungan materi dan pencitraan menjadi satu tujuan yang dicari. Pelayanan terhadap rakyat justru semakin dibatasi. Betapa buruknya tatanan layanan kepentingan rakyat dalam tata kelola ala sekularisme. Segala konsepnya ditetapkan sebagai bentuk kekuasaan otoriter tanpa ada konsep layanan yang amanah.
Konsep Islam
Sistem Islam menetapkan bahwa pemimpin bertanggung jawab terhadap segala urusan rakyat. Hal ini sejalan dengan sabda Rasulullah saw.:
"Imam adalah ra’in (pengurus) dan ia bertanggung jawab atas urusan rakyatnya" (HR. Al-Bukhari).
Dalam pemerintahan Islam, pemilihan pejabat didasarkan pada profesionalisme dan integritas, bukan atas dasar kepentingan kelompok tertentu atau oligarki yang mengabaikan kepentingan rakyat.
Pada sistem Islam dalam institusi khilafah, pejabat yang diangkat bertugas membantu khalifah dalam menjalankan pemerintahan. Kitab "Ajhizah al-Khilafah" karya Taqiyuddin an-Nabhani, menjelaskan bahwa khalifah memiliki wewenang untuk mengangkat dan memberhentikan para pembantunya, seperti mu'awin (pembantu) dan amil (gubernur). Selain bertanggung jawab kepada khalifah, para mu'awin dan amil juga bertanggung jawab di hadapan Majelis Umat.
Sistem Islam menjadikan hukum syariat dan akidah Islam sebagai dasar utama dalam mengatur kehidupan umat. Prinsip ini memastikan bahwa seluruh urusan rakyat diprioritaskan demi kesejahteraan umat bukan untuk kepentingan segelintir pihak. Salah satu yang menjadi perhatian utama adalah memastikan adanya kepemimpinan yang amanah dan adil.
Terkait pembiayaan, khilafah memiliki pos-pos anggaran yang melimpah, mulai dari pos ghanimah, kharaj, jizyah, usyur, hasil tata kelola sumberdaya alam dan beberapa pos yang ditetapkan hukum syarak. Meskipun berlimpah, khilafah tetap menetapkan kebijakan yang efisien dan tidak menghambur-hamburkan biaya. Sehingga setiap agenda dan program yang ditetapkan tetap mengacu pada tujuan utama yang prioritas, yakni pelayanan kepentingan rakyat dan bijak dalam penggunaan anggaran.
Penerapan sistem Islam secara menyeluruh akan melahirkan kebijakan dan solusi yang utuh dan mampu menyelesaikan berbagai masalah umat. Sempurnanya aturan Islam, konsepnya menjamin pengurusan rakyat yang tangguh dan berkeadilan.
Wallahu a'lam bisshawwab.
Via
Opini
Posting Komentar