Opini
Gelombang PHK, Kapitalisme Biang Masalah
Oleh: Alfaqir Nuuihya
(Ibu Pemerhati Masalah Sosial)
TanahRibathMedia.Com—PT Sri Rejeki Isman Tbk atau yang lebih dikenal dengan nama Sritex akhirnya dinyatakan pailit setelah mengumumkan tutup pada hari Sabtu, 1 Maret 2025. Perusahaan tekstil terbesar di Asia Tenggara ini akhirnya harus menyerah setelah kurang lebih 59 tahun berkarya, memberikan lapangan pekerjaan kepada sebagian masyarakat Indonesia. Akibatnya, 10 ribu lebih karyawan perusahaan tersebut harus terkena pemutusan hubungan kerja (PHK) (cnnIndonesia.com, 2-3-2025).
Sebelum raja tekstil Asia Tenggara ini mengumumkan kebangkrutan, ada PT Sanken Cikarang, Jawa Barat pun telah lebih dahulu melakukan hal yang sama. Sebanyak 459 karyawan menjadi korban PHK. Begitu pun PT Danbi Internasional yang harus merumahkan 2100 karyawan akibat menghentikan produksi alias tutup.
Tidak jauh berbeda dengan tiga perusahaan besar tersebut, Yamaha Music Indonesia, mengumumkan hal yang serupa. Bahwa perusahaan besar ini akan menutup kedua pabriknya yang terletak di pabrik MM2100 Bekasi, Jawa Barat pada akhir Maret 2025, dan pabrik Pulo Gadung, di Jakarta Timur akhir Desember 2025.
Produsen alat musik kualitas tinggi dan terbesar di Indonesia ini akhirnya harus melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) kepada 1100 karyawannya. Padahal, perusahaan besar ini selalu melakukan ekspor ke berbagai negara (radarkediri .com, 28 Februari 2025).
Perekonomian Kapitalisme Biang Keladi
Sangat bertolak belakang, ketika Ramadan tiba, seharusnya para karyawan perusahaan-perusahaan tersebut bergembira, bersukacita, tetapi nyatanya harus menerima pil pahit keputusan PHK. Apalagi jika kita mengingat betapa kebutuhan selama Ramadan sampai Idulfitri ini meningkat drastis sejalan dengan harga pangan yang dipastikan melonjak pula, tetapi mereka justru harus kehilangan mata pencaharian.
Dengan fakta seperti ini dipastikan nasib buruh akan semakin terimpit. Itulah salah satu akibat ketika ekonomi kapitalis diberlakukan, harga pangan semakin meroket, padahal rakyat tengah kelimpungan karena kehilangan pekerjaan.
Gelombang pemutusan hubungan kerja sebenarnya tidak hanya terjadi di perusahaan-perusahaan atau sektor swasta. Bahkan di instansi pemerintah pun banyak yang terkena PHK akibat efisiensi anggaran. Akibat pemangkasan anggaran ini, beberapa kementerian dan lembaga merasa kesulitan untuk membayar gaji dan tunjangan karyawan, sehingga memutuskan untuk melakukan PHK.
Setiap tahun, sepertinya sudah menjadi hal lumrah terjadi PHK massal menjelang Ramadan atau Idulfitri. Mengingat perusahaan harus mengeluarkan biaya lebih untuk para karyawan, seperti mengeluarkan kebijakan THR. Meskipun alasan yang sama sering dikemukakan seperti berkurangnya permintaan barang dari pasar atau daya beli masyarakat yang menurun drastis, sehingga karyawanlah yang menjadi korban untuk diberhentikan.
Padahal sudah menjadi rahasia umum, ketika masyarakat kehilangan mata pencaharian mereka maka pengangguran di negeri ini pun akan bertambah banyak. Korban PHK sering kali banyak yang beralih untuk menjadi sopir transportasi online, tetapi kini persaingan semakin sengit dan dipastikan penghasilan akan sangat minim.
Apalagi perusahaan transportasi online tidak memberikan jaminan kesejahteraan bagi karyawannya. Namun, para sopir angkutan online ini dipaksa untuk bertahan mengingat mencari pekerjaan di negeri ini sangat sulit. Kalau pun ada lapangan pekerjaan maka dipastikan banyak kriteria dan persyaratan yang sulit dipenuhi oleh para pencari kerja ini.
Dalam sistem kapitalisme, menjadi buruh harus rela diotak-atik posisinya hanya sebagai tenaga produksi atau bersifat eksploitatif. Negara dan perusahaan atau para korporat tidak akan pernah memberikan kesejahteraan untuk para karyawan, mereka cenderung lepas tangan. Terbukti bahwa negara hanyalah regulator bagi para pemilik modal, membuka peluang usaha sebesar-besarnya, meski harus mengorbankan rakyat sebagai karyawan perusahaan tersebut.
Negara hanya berpikir bagaimana caranya agar mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya di bawah pengusaha yang oportunis. Meskipun karyawan harus hidup di bawah kemelaratan, jauh dari kesejahteraan, negara tetapi abai dengan kondisi seperti ini.
Perspektif Islam
Islam mengajarkan bahwa hubungan antara pengusaha dan buruh adalah hubungan saling menolong dalam kebaikan. Ketika para karyawan memberikan jasa atau tenaga maka perusahaan akan memberikan ijarah atau upah secara layak, sesuai kesepakatan kedua belah pihak (karyawan dan perusahaan) atas kerja kerasnya. Tidak akan ada kezaliman karena mereka memahami hakikat keduanya sebagai proses tolong-menolong.
Rasulullah bersabda, "Apabila salah seorang di antara kalian mengontrak (tenaga) seorang pekerja maka hendaknya diberitahukan kepadanya upahnya." (HR. Ad-Daruquthni).
Negara yang bersikap sebagai ra'in atau pengurus rakyat maka akan melakukan tugasnya sebaik mungkin agar bisa meriayah atau mengurus rakyat bahkan para pemilik modal agar tidak terjadi kezaliman.
Di dalam Islam, rakyat tidak akan dipersulit dalam mencari lapangan pekerjaan. Sebab, tugas negaralah dalam pemenuhan kebutuhan primer rakyatnya, seperti pendidikan, pangan, sandang, kesehatan, dll. Begitu pun lapangan pekerjaan sudah menjadi tanggung jawab negara untuk menyediakannya. Seperti sabda Rasulullah, "Siapa saja yang meninggalkan harta maka harta tersebut menjadi hak keluarganya. Siapa saja yang meninggalkan utang atau keluarga (yang wajib diberi nafkah) maka itu urusanku dan kewajibanku (penguasa)." (HR Muslim)
Selain menyediakan lapangan pekerjaan, negara yang berbasiskan syariat Islam akan menjamin investasi yang kondusif, sehingga perusahaan akan jauh dari kebangkrutan. Kalaupun sampai terjadi kebangkrutan maka negaralah yang akan menyediakan lapangan pekerjaan bagi para korban PHK. Begitu pun SDA dipastikan akan dikelola dan dikembangkan oleh negara bukan diserahkan kepada para pemilik modal.
Sumber daya manusia pun menjadi kewajiban negara dalam memaksimalkannya agar menjadi SDM yang berkualitas. Dengan demikian, peran swasta akan berkurang bahkan tidak memiliki peran dalam investasi, karena negara mampu menjamin keberlangsungan industri dalam negeri.
Negara Islam yang memahami bahwa para pemimpin adalah pengurus rakyatnya dan paham bahwa kelak akan dimintai pertanggungjawaban maka dipastikan akan menggunakan kekuasaan sebagai alat dalam menyejahterakan rakyat sesuai aturan Allah.
Wallahualam bissawab.
Via
Opini
Posting Komentar