Opini
Ketika Rakyat Lebih Memilih Mengadu ke Damkar
Oleh: Ummu Ghaza
(Sahabat Tanah Ribath Media)
TanahRibathMedia.Com—Baru-baru ini viral berita dari akun Instagram @satpolppdamkarkabsemarang yang melaporkan tentang pengamanan 2 pemuda pelaku pemalakan dan 3 pemuda yang diduga anggota kreak (gangster) di Kabupaten Semarang. Kejadian ini bermula saat petugas menerima laporan dari penjual nasi goreng tentang aksi pengeroyokan warga kepada dua pemalak. Menerima laporan tersebut, Tim Quick Response System (QRS) Satpol PP Kabupaten Semarang segera menuju ke lokasi dan berhasil menangkap dua pelaku pemalakan (jateng.tribunnews.com, 14 Februari 2025)
Serupa dengan kejadian tersebut, seorang wanita korban KDRT (Kekerasan Dalam Rumah Tangga) di Rangkasbitung juga memilih mendatangi petugas Damkar (Pemadam Kebakaran) Lebak Rangkasbitung untuk melaporkan kasus kekerasan yang telah dilakukan suaminya. Sebagaimana yang disampaikan oleh petugas yang menerima laporan: "Ibu tersebut datang ke markas, minta tolong untuk dibantu karena sudah dipukul oleh suaminya sendiri.” (Kompas.com, 16 Februari 2025).
Tidak jauh beda dengan peristiwa tersebut, seorang penjaga sekolah di Kalimantan Tengah juga memilih mendatangi petugas damkar atas pencurian yang terjadi di sekolah yang dijaganya. Walaupun kejadian tersebut terjadi di tahun 2022 yang lalu, namun netizen mengangkat kembali berita tersebut dan ternyata viral. Peristiwa tersebut terjadi di SD Negeri 7 Raja, Kecamatan Arut Selatan, Kotawaringin Barat. Saat itu petugas damkar didatangi penjaga sekolah yang melaporkan tentang pencurian yang sedang terjadi di sekolah yang dijaganya. Petugas damkar yang sedang bertugas segera menuju lokasi dan berhasil mengamankan pelaku di tempat kejadian (www.beritasatu.com, 18 Januari 2025).
Mungkin banyak lagi cerita lain yang rata-rata sama, di mana petugas damkar seolah menjadi petugas andalan masyarakat. Tidak hanya dalam hal memadamkan api, namun juga membantu mengevakuasi ular di dalam rumah, menangkap kucing lepas, bahkan menangkap maling, dan menangani cekcok pasangan suami istri.
Yang menarik dari berbagai peristiwa ini adalah komentar-komentar netizen yang malahan melontarkan banyak pujian kepada petugas damkar dengan berbagai kalimat dan ekspresi lucunya, yang secara tidak langsung menilai bahwa petugas damkar lebih responsif dalam memberikan bantuan kepada masyarakat dibandingkan aparat kepolisian.
Menanggapi hal ini, Komisioner Kompolnas Muhammad Choirul Anam menyampaikan bahwa laporan-laporan tersebut tidak serta-merta menunjukkan bahwa tingkat kepercayaan masyarakat ke kepolisian menurun. Namun bisa jadi disebabkan oleh berbagai faktor misalnya jarak ke kantor damkar yang lebih dekat daripada ke kantor polisi, adanya faktor ketidaktauan masyarakat, atau adanya kemungkinan bahwa ada pihak-pihak yang tidak menginginkan kasusnya dibawa ke ranah hukum, dan lain sebagainya (Kompas.com, 16 Februari 2025).
Namun, terlepas dari tanggapan yang disampaikan oleh Kompolnas di atas, terdapat fakta yang memperkuat adanya ‘trust issue’ kepada pihak kepolisian ini, yaitu munculnya istilah ‘no viral no justice’ yakni sebuah istilah yang menggambarkan fenomena bahwa sebuah kasus baru akan diproses oleh pihak kepolisian setelah ramai di media sosial, contohnya saja kasus pembunuhan Vina Cirebon dan pacarnya, Muhammad Rizky, yang kembali viral dengan rilisnya film Vina: Sebelum 7 Hari di bioskop.
Viralnya kasus tersebut membuat polisi memeriksa kembali kasus tersebut dan langsung menangkap satu tersangka bernama Pegi Setiawan, meski pada akhirnya dinyatakan sebagai korban salah tangkap. Begitu juga kasus kreak yang marak dan viral di Kota Semarang. Aksi kreak yang meresahkan masyarakat dan banyak melakukan tindak kriminal ini langsung segera ditangani oleh pihak kepolisian dengan membubarkan serta menangkap kelompok-kelompok kreak tersebut, walaupun kasus ini belum bisa dikatakan benar-benar tuntas hingga saat ini.
Dari berbagai cerita tersebut dapat diambil satu kesimpulan ringan yaitu bahwa masyarakat saat ini memiliki sentimen negatif atau memiliki pandangan negatif terhadap kinerja aparat berwenang. Sebagaimana yang disampaikan oleh Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo, "Sentimen positif hanya mencapai 37 persen atau 2.569.975 interaksi, sedangkan netral berada di angka 18 persen". Artinya sepanjang tahun 2024 kinerja kepolisian didominasi sentimen negatif di media sosial, dari total 7.128.944 interaksi yang tercatat, sebanyak 46 persen atau 3.311.485 adalah interaksi bernada negatif (tempo.co, 1 Januari 2025).
Hal ini seharusnya menjadi catatan penting bagi pihak kepolisian untuk bersegera berbenah diri, mengingat kepercayaan publik bisa jadi akan terus tergerus, terutama ketika ada oknum polisi yang terlibat dalam kasus yang merugikan masyarakat. Masyarakat pastinya mengharapkan aparat yang mengayominya dan dapat memberikan keadilan yang nyata di tengah-tengah mereka. Sebagaimana yang pernah terjadi di masa lampau di mana seorang qadhi (hakim) pada masa kekhalifahan Ali bin Abi thalib yang bernama Qadhi Syuraih. Beliau memberikan putusan kalah bagi Khalifah Ali bin Abi Thalib atas persengketaan terkait kepemilikan baju besi yang sebenarnya adalah memang milik Khalifah Ali. Namun karena tidak adanya bukti dan saksi, maka akhirnya si Yahudi yang justru dinyatakan menang dalam kasus tersebut. Hal ini menjadi bukti betapa keadilan adalah sesuatu yang nyata ada dalam sistem Islam dan berlaku bagi siapa saja tanpa kecuali, walaupun rakyat jelata vs pemimpin negara. Syariat Islam tetap tegak sebagaimana seharusnya, tanpa ada keberpihakan kepada pihak yang kuat serta menindas pihak yang lemah.
Allahu’alam bi showab
Via
Opini
Posting Komentar