Opini
Nestapa Badai PHK Sritex
Oleh: Maya A
(Muslimah Gresik)
TanahRibathMedia.Com—Badai PHK melanda PT Sritex. Total sebanyak 10.665 karyawan terpaksa dirumahkan. Pemain utama dalam industri tekstil Indonesia yang dinyatakan pailit sejak Oktober 2024 ini tercatat memiliki outstanding kredit sebesar Rp14,64 triliun, terdiri dari Rp14,42 triliun utang ke 27 bank dan Rp220 miliar utang ke perusahaan pembiayaan, menurut Otoritas Jasa Keuangan (OJK).
Menanggapi ini, Ekonom senior Fithra Faisal dalam agenda Dominasi Impor Produk China terhadap Industri Lokal menilai salah satu penyebab kebangkrutan PT Sri Rejeki Isman Tbk. (SRIL) atau Sritex yaitu minimnya investasi pada inovasi teknologi hingga tekanan ongkos produksi sehingga tidak mampu berkompetisi di pasar.
Adapun menurut laporan terbaru Next Policy, regulasi Permendag 8/2024 serta kenaikan PPN 12% hingga UMP yang naik 6,5% pada tahun depan tersebut diduga berkontribusi pada peningkatan volume impor yang tidak terkontrol, memperdalam tantangan yang dihadapi oleh produsen lokal dan berpotensi merusak ekosistem industri lokal dengan persaingan yang tidak seimbang.
Sungguh, betapa kompleks masalah yang dihadapi rakyat. Satu per satu beban sengaja ditumpukkan, tanpa ada pihak yang serius membantu menyelesaikan. Ibarat anak ayam yang kehilangan induknya, seperti itulah kondisi rakyat yang faktanya punya pemimpin tapi rasanya seperti tak punya. Pontang-panting sendiri bergelut mencari solusi.
Kasus PHK Sritex ibarat momok bagi industri industri lokal lain. Bagaimana tidak? Pabrik tua dan melegenda, nyatanya juga bisa bangkrut. Yang jika ditelusuri, sumber utamanya adalah dampak sosial dari sederet kebijakan negara.
Lahirnya UU Cipta Kerja, keran impor dari China yang jebol melalui ACFTA (ASEAN-China Free Trade Area) yang ditandatangani pada 12 November 2017 dan lahirnya Permendag 8/2024 yang membahas regulasi impor dan perubahan beberapa kebijakan pada akhirnya berhasil menggoyang kokohnya industri tekstil tertua itu.
Banyak dalih yang dilontarkan untuk membenarkan lahirnya kebijakan. Seperti halnya permendag yang katanya untuk mengatasi masalah penumpukan kontainer di pelabuhan. Dengan dalih itu, barang-barang impor yang terkendala izin impor mendapat izin masuk tanpa memerlukan pertimbangan teknis. Imbasnya, industri lokal babak belur dihajar produk impor. Produksi menurun, penjualan merosot, gulung tikar dan berakhir PHK. Terlebih jamak diketahui, produk impor menawarkan harga lebih terjangkau.
Demikian dampak menyeramkan dari perdagangan bebas. Narasi-narasi positif seperti meningkatkan pertumbuhan ekonomi, menambah devisa, memperluas pasar adalah omong kosong. Yang ada justru semakin mempertajam kesenjangan sosial sebab keuntungan perdagangan yang diperoleh oleh perusahaan-perusahaan besar tidak selalu berdampak pada kesejahteraan masyarakat secara merata.
Inilah akibat penerapan sistem kapitalisme dengan prinsip liberalisasi ekonomi. Negara berwatak populis otoriter yang menjalankan peran hanya sebagai regulator untuk memenuhi kepentingan oligarki. Bahkan Sritex dijanjikan akan selamat jika saat pemilu memilih calon tertentu. Liberalisasi juga menyebabkan negara kehilangan kontrol dalam menyediakan lapangan kerja dan membuat swasta memainkan peran lebih banyak dalam industri.
Jaminan yang berbeda justru diberikan oleh Islam melalui tangan negara. Suasana kondusif benar-benar diupayakan bagi para pengusaha dan perusahaan dengan penerapan sistem ekonomi Islam. Pun juga bagi rakyat, mereka juga mendapat jaminan terbukanya lapangan kerja melalui beberapa kebijakan. Seperti halnya pemberian modal/intensif untuk memulai usaha, fasilitas pelatihan ketrampilan agar sesuai dengan kebutuhan industri, hingga pemanfaatan lahan terbengkalai untuk dikelola. Selain itu, sinergi antara negara dan perindustrian akan menjadikan keduanya kompak mengentaskan pengangguran dengan meminimalisir penggunaan mesin dan memperluas penyerapan tenaga kerja.
Langkah lain yang juga bisa ditempuh adalah pengambilalihan harta milik umum (SDA) untuk dikelola secara mandiri oleh negara tanpa campur tangan swasta/asing. Banyaknya industri strategis seperti kilang minyak, pengolahan tambang membuka peluang lapangan kerja dalam jumlah besar.
Kondusifitas proses produksi industri juga dijamin dengan regulasi yang berpihak pada industri lokal. Negara tidak akan dengan mudahnya membuka keran impor yang berpotensi merusak pangsa pasar produk lokal. Sebagai negara mandiri, negara berbasis Islam tidak mudah goyah oleh tekanan internasional yang mewajibkannya terlibat dalam arus liberalisasi atas nama globalisasi. Dengan cara ini, industri bisa tumbuh beriringan dengan rakyat.
Semua yang ditawarkan oleh Islam di atas adalah sederet solusi yang membutuhkan keselarasan antara sistem dan pemimpin pelaksana sistem. Di mana keduanya hanya terwujud dalam naungan khilafah Islam. Inilah yang mestinya diperjuangkan oleh umat dengan sungguh-sungguh agar dominasi kapitalisme segera musnah.
Via
Opini
Posting Komentar