Opini
Paradoks Transportasi: Tarif Pesawat dan Tol Turun, Ongkos Transportasi Lain Melambung
Oleh: Tjahayu Riawati
(Sahabat Tanah Ribath Media)
TanahRibathMedia.Com—Kebijakan pemerintah yang mengumumkan penurunan harga tiket moda transportasi udara serta tarif tol terasa menggelikan. Apakah kebijakan ini akan menyelesaikan persoalan? Apakah kebijakan ini benar-benar berpihak kepada seluruh masyarakat?
Pemerintah menerapkan kebijakan yang menurunkan harga tiket pesawat domestik hingga 14% selama periode mudik Lebaran tahun ini. Penurunan ini dicapai dengan menanggung sebagian Pajak Pertambahan Nilai (PPN).
PT Pertamina (Persero) juga menurunkan harga avtur di 37 bandara untuk mendukung program pemerintah dalam menyesuaikan harga tiket pesawat selama periode Ramadan-Idulfitri 1446 H. Kebijakan ini berlaku mulai 18 Maret hingga 15 April 2025 (viva.co.id ,1-3-2025).
Selain penurunan harga tiket pesawat, pemerintah menyediakan program mudik gratis.
Mudik gratis digelar dengan kerja sama Kementerian Perhubungan RI dan Kementerian BUMN. Kuota mudik gratis untuk tahun ini mencapai 100.000 orang. Juga akan ada penurunan tarif jalan tol dibeberapa ruas jalan sebesar 20% guna meringankan beban masyarakat selama mudik lebaran (viva.co.id 28-2-2025).
Dengan berbagai kebijakan ini, pemerintah berharap dapat meningkatkan kenyamanan serta keterjangkauan bagi masyarakat yang melakukan perjalanan mudik Lebaran 2025.
Namun, apakah kebijakan tersebut sudah mengakomodasi semua masyarakat?
Mungkin hanya sebagian kecil masyarakat yang dapat menikmati penurunan tarif transportasi udara dan tarif tol. Kebijakan ini lebih banyak dinikmati oleh kalangan menengah ke atas. Sementara itu, mereka yang memiliki kendaraan pribadi tetap harus memikirkan biaya masuk tol dan BBM yang masih tinggi.
Lalu bagaimana dengan masyarakat kelas bawah?
Alih-alih bisa menikmati program mudik gratis yang dicanangkan pemerintah dan BUMN, hanya sebagian kecil saja dari mereka yang berkesempatan mendapatkannya. Bagaimana dengan masyarakat kelas bawah lainnya? Bagaimana dengan harga tiket kereta api yang tidak mengalami penurunan?
Bahkan tiket KAI, baik kelas ekonomi maupun yang termahal, harus dipesan jauh-jauh hari dan langsung habis dalam hitungan menit. War ticket yang dibuka pun hanya berlangsung sekejap sebelum semua kursi ludes terjual. Lantas bagaimana dengan moda transportasi lainnya?
Dari tahun ke tahun, tarif tiket menjelang arus mudik selalu mengalami kenaikan. Perusahaan otobus (PO) berlomba-lomba menaikkan tarif hingga batas yang ditentukan pemerintah, bahkan ada yang melebihi ambang tersebut. Pemerintah memang menindak tegas dengan mencabut izin operasional PO Bus "nakal", namun setelah arus mudik dan balik usai, mereka bisa kembali beroperasi atau sekadar berganti nama.
Bagaimana dengan moda transportasi laut?
Meskipun tidak ada kenaikan tarif, kenyamanan dan keamanan di kapal tetap menjadi persoalan yang perlu dievaluasi, mulai dari proses masuk kapal, kondisi di dalam kapal, hingga saat keluar dari pelabuhan.
Masyarakat kelas bawah, bagaimana pun juga, terpaksa membeli tiket dengan harga yang ada demi bisa berkumpul dengan keluarga di kampung halaman. Mereka bekerja keras di perantauan, mengumpulkan rezeki untuk mudik, dan mengencangkan ikat pinggang agar bisa merayakan Idulfitri bersama sanak saudara.
Mudik Lebaran telah menjadi tradisi tahunan di Indonesia. Jutaan orang rela melakukan perjalanan jauh demi merayakan Idulfitri bersama keluarga. Selain itu, aktivitas mudik juga turut menggerakkan perekonomian daerah karena tingginya perputaran uang dari sektor oleh-oleh, transportasi, hingga wisata lokal.
Namun, semua ini tidak terlepas dari sistem kapitalis yang menguasai segala lini kehidupan. Negara menyerahkan pengelolaan transportasi publik kepada investor dan swasta. Kebijakan yang dibuat lebih berpihak kepada korporasi daripada masyarakat luas, sehingga hanya berujung pada pencitraan belaka.
Transportasi dalam Perspektif Islam
Dalam Islam, prinsip utama dalam ekonomi adalah keadilan (al-'adl), keseimbangan (tawazun), dan kemaslahatan umum (maslahah 'ammah). Kebijakan ekonomi yang adil harus memberikan manfaat bagi semua pihak, baik konsumen maupun penyedia jasa transportasi. Jika tarif pesawat diturunkan tetapi moda transportasi lainnya naik secara tidak wajar, maka terjadi ketimpangan yang merugikan masyarakat, khususnya pengguna bus atau kereta api.
Islam juga melarang gharar (ketidakpastian yang merugikan) dan ihtikar (penimbunan atau manipulasi harga). Jika ada pihak yang sengaja memainkan harga demi kepentingan segelintir orang, maka hal itu bertentangan dengan prinsip Islam.
Segala kebijakan harus berbasis kemaslahatan umum. Jika penurunan tarif pesawat hanya menguntungkan sebagian kecil masyarakat sementara pengguna transportasi lain terbebani, maka kebijakan tersebut tidaklah adil.
Dalam sistem Islam, kebijakan ekonomi dan transportasi harus berpihak pada kesejahteraan masyarakat secara keseluruhan. Oleh karena itu, solusi terbaik dalam mewujudkan keselarasan tarif transportasi adalah memastikan kebijakan yang transparan, adil, dan berbasis kemaslahatan umum.
Transportasi yang berkualitas, murah, aman, dan nyaman sejatinya hanya akan terwujud dalam sistem ekonomi Islam di bawah Khilafah Islamiyah—bukan hanya di bulan Ramadan dan Syawal, tetapi setiap saat. Negara dalam Islam berperan sebagai raa’in (pengurus rakyat), sehingga seluruh kebutuhan masyarakat, termasuk transportasi, menjadi tanggung jawab negara, bukan pihak swasta.
Islam bahkan melarang negara menyerahkan pengelolaan hajat hidup rakyat kepada pihak swasta, sementara negara hanya bertindak sebagai regulator atau sekadar mengomersialkan kebutuhan publik. Pemenuhan kebutuhan transportasi bagi masyarakat adalah tanggung jawab negara, yang pembiayaannya bersumber dari kekayaan negara yang tersimpan di Baitul Maal.
Via
Opini
Posting Komentar