Opini
PHK Ribuan Karyawan Sritex: Korban Janji dan Kebijakan yang Gegabah?
Oleh: Syarifah Aini
(Sahabat Tanah Ribath Media)
TanahRibathMedia.Com—Badai PHK kembali mencuat usai perusahaan tekstil terbesar se-Asia Tenggara, PT Sritex menyatakan resmi berhenti beroperasi sejak 1 Maret 2025.
Perusahaan tersebut dinyatakan pailit oleh pengadilan karena utangnya yang menggunung sejak tahun 2024, akibatnya ribuan karyawan PT Sritex harus mengalami PHK Massal (BBC, 28 Februari 2025).
Padahal pada saat pemilihan presiden tahun 2024, ribuan karyawan PT Sritex mendapatkan angin segar atas janji kampanye salah satu paslon. Paslon ini berjanji akan menalangi utang PT Sritex sehingga PT Sritex tidak pailit dan karyawan di PT Sritex tidak terkena PHK.
Namun kenyataannya, PT Sritex tetap harus berhenti beroperasi, dan PHK massal terjadi. Sementara paslon yang menjanjikan hal tersebut, sudah menduduki tahta tertinggi kepemimpinan di negeri ini.
Sungguh miris. Secara logika politik, PT Sritex ini merupakan perusahaan swasta yang tidak ada urusannya dengan pemerintah. Maka, tidak ada rumusnya pemerintah akan menalangi utangnya.
Selain utang yang menggunung, PT Sritex sudah kalah saing produknya. Hal ini merupakan salah satu dampak sosial yang terjadi akibat kebijakan pemerintah yang memberikan kemudahan produk-produk asal China, termasuk produk tekstil melalui Asean China Free Trade Agreement (ACFTA) maupun UU Cipta Kerja.
ACFTA ini memberikan kebebasan pada pasar ekspor impor dari China ke Indonesia atau sebaliknya. Harga barang yang diimpor pun tidak mahal akibat dari ACFTA ini. Karena di dalam perjanjiannya, tarif ekpor impor 94,5% dihapuskan.
Tentu ini menjadi polemik bagi industri lokal di Indonesia. Harga barang dari China bisa jauh lebih murah, sementara kualitas produk tidak jauh berbeda.
Apa yang tejadi pada PT Sritex ini merupakan akibat dari penerapan sistem kapitalisme dengan prinsip liberalisasi ekonomi. Negara dan pemimpinnya juga dibuat memiliki watak populis otoriter. Selain itu, janji yang dibuat oleh calon presiden pada saat pemilu hanyalah ilusi. Semua semata demi mendapatkan simpati dan suara rakyat. Pemerintah dalam sistem kapitalisme dengan watak populis otoriter, hanya menjalankan perannya sebagai regulator untuk memenuhi kepentingan oligarki.
Dalam sistem kapitalisme, siapa yang merupakan pemilik modal atau memiliki kekayaan tertinggi, akan mampu mengendalikan suatu negara dengan pemerintah sebagai jembatannya untuk semakin mengekspansi kekuasaan oligarkinya. Liberalisasi juga menyebabkan lapangan pekerjaan dikontrol oleh industri.
Hal ini berbeda dengan sistem Islam. Dalam sistem Islam, suasana kondusif bagi para pengusaha dan perusahaan terjamin dengan penerapan sistem ekonomi Islam. Dalam sistem ekonomi Islam, prinsip pengusaha atau perusahaan bukan meraih untung sebanyak-banyaknya dengan modal yang sedikit sebagaimana prinsip ekonomi kapitalis, melainkan berlandaskan pada ketakwaan kepada Allah.
Sehingga nilai-nilai etika seperti keadilan, amanah, dan kejujuran akan senantiasa mewarnai baik pengusaha, konsumen, karyawan, maupun negara sebagai pengambil kebijakan. Negara menjamin kemudahan berusaha termasuk dalam penyediaan dana.
Negara menyediakan dana usaha ataupun pinjaman nonribawi termasuk bagi perusahaan yang pailit. Selain itu, sistem Islam mencegah konsentrasi kekayaan hanya pada segelintir orang. Dengan begini, kesenjangan sosial di tengah masyarakat akan teratasi.
Sistem Islam mewajibkan negara untuk menghapuskan setiap peluang akumulasi kekayaan hanya pada elit tertentu. Negara dalam sistem Islam juga menjamin terbukanya lapangan pekerjaan yang luas dan memadai dengan berbagai mekanisme yang dijelaskan dalam kitab Nidzom Iqthisody (Sistem Ekonomi Islam) karya Syeikh Taqiyuddin An-Nabhani, termasuk memberikan modal bisnis, iqtha’ (pemberian tanah), dan lain-lain.
Mekanisme ini hanya mampu dijalankan oleh penguasa dan pemimpin yang memiliki profil pemimpin Islam, yaitu al-quwwah (kekuatan), at-taqwa (ketakwaan), dan al-rifq bi ar-ra’iyyah (lembut terhadap rakyatnya).
Wallahualam bi showab.
Via
Opini
Posting Komentar