Opini
Dari Lensa Gaza Hingga Seruan Khilafah
Oleh: Indri Wulan Pertiwi
(Aktivis Muslimah Semarang)
TanahRibathMedia.Com—Fatima Hassouna (25), seorang jurnalis asal Palestina, dijuluki "Mata Gaza" karena dedikasinya menggunakan fotografi untuk merekam realitas pahit di Jalur Gaza. Selama 18 bulan perang, ia mendokumentasikan kehancuran, kesedihan, dan harapan yang tetap ada di tengah puing-puing. Fatima memperlihatkan kisah penderitaan dan keteguhan warga Gaza melalui karya-karyanya yang penuh emosi dan jujur, hingga dilihat oleh dunia sebab dipublikasikan di media ternama seperti The Guardian.
Tragisnya, Fatima tewas dalam serangan udara Israel yang menghantam kediamannya di Kota Gaza. Sebagaimana yang disampaikan Kementerian Kesehatan Gaza, pada Jumat (18/4). Pusat Perlindungan Jurnalis Palestina (PJPC) telah menyampaikan belasungkawa dan menyatakan serangan tersebut sebagai kejahatan terhadap jurnalis serta adanya pelanggaran hukum internasional. Foto-foto Fatima, yang selama ini mendokumentasikan kehidupan di bawah pengepungan dan mengungkap korban jiwa akibat agresi, kini menjadi warisan abadi dari keberanian dan dedikasinya. Sementara Pasukan Pertahanan Israel (IDF) mengklaim serangan tersebut menargetkan anggota Hamas demi melindungi warga sipil (cnnindonesia.com, 19-4-2025).
Kesadisan Israel di Jalur Gaza belum mereda. Sejak 7 Oktober 2023, militer Israel terus melancarkan serangan brutal yang merusak kehidupan jutaan warga Palestina. Serangan ini menjadikan Sebagian warga Palestiona tanpa akses makanan, tempat tinggal, layanan kesehatan, atau penghidupan layak membuat warga palestina menjadi layaknya pengungsi di tanah air mereka sendiri.
Klaim IDF yang menargetkan anggota Hamas untuk melindungi warga sipil adalah dalih yang tidak dapat diterima untuk membenarkan kebiadaban mereka. Sebab, dalam setiap operasi militernya, Israel secara konsisten menggunakan strategi yang sama: menuding Hamas bersembunyi di antara warga sipil, lalu memberikan ultimatum kepada warga Palestina untuk pindah ke "zona aman" yang sebenarnya ilusi. Ini telah menjadi pola sama dalam melanjutkan melanjutkan praktik genosida, dengan mengambinghitamkan Hamas.
Tidak hanya itu saja sifat pengecut zionis Yahudi, bahkan di dalam setiap perjanjian dan gencatan senjata, mereka selalu mengkhianatinya. Hal ini membuktikan bahwa zionis Yahudi tidak pernah berniat mencapai perdamaian. Adapun Tragedi kematian Fatimah kian mempertegas kegagalan sistematis dunia internasional dalam melindungi warga sipil dalam konflik bersenjata. Bahkan hingga hari ini, jumlah korban jiwa warga Palestina mencapai hampir 51.000 orang meninggal dan 116.343 orang terluka. Data ini bukan sekadar statistik, melainkan mencerminkan kekejaman dan kebrutalan zionis Yahudi. Namun dunia internasional hanya bungkam seribu Bahasa.
Sementara itu, para pemimpin Muslim masih sibuk dengan retorika dan terus menggantungkan solusi pada Barat, kendati hipokrisi negara-negara Barat, khususnya Amerika Serikat, sangat terang-terangan di depan mata mereka. Sangat jelas AS memberikan dukungan politik, diplomatik, dan militer kepada Israel. Bahkan tak sungkan menggunakan hak veto di hadapan Dewan Keamanan PBB demi melindungi Israel dari pertanggungjawaban atas berbagai tindakan biadabnya terhadap rakyat Palestina.
Sementara umat Islam hanya mampu terpaku menyaksikan kemunafikan tersebut. Sebab dunia saat ini berada di bawah hegemoni AS, sehingga dunia internasional pun berada di bawah kendalinya. Dengan mudahnya mereka menerapkan standar ganda: ketika AS atau sekutunya menjadi korban serangan, mereka bebas segera merespons dengan brutal. Namun, ketika AS atau sekutunya melakukan serangan teror, tindakan tersebut seringkali tidak dianggap sebagai kejahatan dan tidak perlu ditanggapi serius.
Namun, melampaui tuntutan keadilan atas kematian Fatima, kita harus mengakui bahwa konflik Palestina membutuhkan solusi yang lebih komprehensif. Penyelesaian konflik ini tidak hanya memerlukan penghentian kekerasan dan penegakan hukum internasional, tetapi juga perlu upaya serius untuk menangani akar permasalahan.
Oleh karena itu, untuk mencapai pembebasan Palestina, kita tidak boleh berharap atau bergantung pada Barat, tetapi harus memiliki solusi sendiri yang lebih hakiki: persatuan sejati dengan khilafah yang melampaui batasan nasionalisme sempit. Sebab bagaimana pun batas-batas negara bangsa yang bersifat artifisial telah memecah belah umat dan menjadikan kita lemah di hadapan penjajah.
Dengan khilafah, potensi kekuatan militer kaum Muslim di berbagai negeri Islam dapat disatukan dan digerakkan untuk melakukan jihad terhadap Israel dan para pelindungnya, khususnya Amerika Serikat. Dengan demikian, kaum Muslim dapat menghapuskan eksistensi kaum Zionis penjajah dari bumi Palestina.
Kesimpulannya, kematian Fatima Hassouna menjadi pengingat pahit akan kekejaman yang masih berlangsung di Jalur Gaza. Pembebasan Palestina memerlukan perubahan paradigma yang mendalam, meninggalkan nasionalisme sempit dan menggantinya dengan persatuan umat yang kuat di bawah naungan khilafah.
Meskipun Fatima Hassouna "Mata Gaza" telah tiada, warisan semangatnya harus terus kita lanjutkan. Jika Fatima menggunakan kamera sebagai senjata untuk menunjukkan berbagai realita yang dialami masyarakat Palestina di hadapan dunia, maka kita juga dapat menggunakan lisan dan tulisan sebagai senjata untuk terus bersuara dan menyerukan solusi hakiki bagi pembebasan Palestina yaitu jihad dan khilafah.
Wallahu'alam.
Via
Opini
Posting Komentar