Cerpen
Garis Dua Bintang yang Tak Kunjung Datang
Part 1
Oleh: Kartika Soetarjo
(Sahabat Tanah Ribath Media)
TanahRibathMedia.Com—Pagi itu, kubuka jendela kamarku. Kupejamkan mata ini, sambil kuhirup udara pagi yang begitu segar. Pelan, kuhembuskan nafasku diiringi dengan keluarnya kalimat hamdallah dari bibirku.
"Alhamdulillah... Rabb hamba sangat bersyukur dengan apa yang telah hamba miliki sekarang"
Aku terus menghitung semua pemberian Allah kepadaku saat ini. Sungguh! Tak terhitung anugerah-Nya. Mataku pun membasah.
Aku Bintang, dan ini kisahku.
Aku menikah 24 tahun yang lalu dengan seorang laki-laki yang sangat baik.
Awal-awal pernikahan, kami lalui dengan bahagia, maklum, masih suasana bulan madu. Saat itu, belum terpikir olehku untuk mempunyai momongan. Aku fokus menjalani kehidupan berrumah tangga, membantu perekonomian suami dengan berdagang dan mengajar santri-santri kecilku yang kujalani semenjak aku masih gadis.
Tak terasa, satu tahun sudah aku hidup serumah dengan sang pangeran tampan. Hidup yang tadinya tenang, kini mulai terganggu dengan adanya pertanyaan-pertanyaan dari orang-orang sekitar.
"Kenapa belum hamil juga?”
"Ini kapan punya anaknya?"
“Kamu gak normal kali?"
Masih banyak lagi pertanyaan-pertanyaan yang seakan memekakkan telinga. Kadang, pertanyaan-pertanyaan itu acapkali mengundang pertengkaran kecil di antara kami, karena, aku tiba-tiba marah dan tidak mau makan, membuat suamiku menjadi kesal.
Dua tahun, tiga tahun kulewati, tetapi tanda-tanda kehamilan itu belum juga tampak. Aku mulai gelisah. Kata-kata sumbang dari luar terasa seakan menghakimi dan sangat menusuk hati, membuat aku enggan ke luar rumah dan sering mengurung diri. Ditambah suamiku yang sering bekerja di luar kota atau bahkan di luar propinsi dengan waktu yang lama, hingga menghabiskan tiga sampai empat bulan barulah bisa pulang.
Hal ini juga menjadi salah satu penyebab batinku semakin terpuruk. Karena seringnya di rumah sendirian, membuat aku menjalani hari-hari dengan penuh ketakutan dan kekhawatiran. Takut benar-benar tidak punya anak, takut masa tua sendirian, takut dengan ucapan-ucapan yang menyakitkan, takut meninggal tidak diketahui siapapun, dan takut si tampan disikat perempuan lain.
Karena banyaknya pikiran negatif, badanku menjadi tidak stabil dan gampang sakit. Aktivitas mengajar ngaji tidaklah menjadi pelipur hati, tidak adanya teman curhat, dan jauh dari orang tua menjadi faktor pendukung runtuhnya jiwa.
Akhirnya, aku menderita penyakit maag akut, aku sering tidak sadarkan diri. Oleh karenanya, aku jadi sering keluar masuk rumah sakit mengobati penyakitku ini. Bahkan, dokter langgananku pun menyatakan, bahwa kondisi badanku sudah lemah, tidak baik mengonsumsi obat-obatan yang mengandung zat kimia. Aku disarankan untuk istirahat dari segala aktivitas dan harus berusaha menghilangkan semua pikiran negatif dari benakku. Itu jalan satu-satunya menuju sehat menurut arahan dokter. Aku pun mencoba menuruti semua saran pak dokter.
Suatu hari, di bulan Ramadan ke lima dalam pernikahanku, aku merasa terlambat datang bulan. ingkatnya, aku dinyatakan positif hamil menginjak dua bulan oleh buk bidan. Bahagia bercampur sedih menyelimuti kami berdua. Si Tampan memelukku den membasahi kepalaku dengan air matanya. Tak terlukiskan saat itu bagaimana bahagianya kami.
Namun, bahagia itu tidak mau berlama-lama singgah dalam hati kami. Waktu itu, aku menjadi imam salat tarawih santri-santri perempuanku, gerakan yang mungkin terlalu cepat, menjadi penyebab aku banyak mengeluarkan darah.
Aku syok dan menangis sejadi-jadinya. Suamiku memeluk dan mencoba menenangkanku.
"Tenang sayang. Jangan panik! Besok kita periksa ke bidan ya… Semoga ini hanya pendarahan biasa,” ujar suamiku.
Aku menghabiskan malamku dengan tangisan kekhawatiran. Keesokan harinya aku di antar suami memeriksakan kandungan ke bidan dengan harapan sang buah hati masih ada di dalam kandungan.
Singkat cerita, bu bidan memeriksa kandunganku. Dia menyatakan bahwa masih ada janin di dalam rahimku, tetapi sangat tipis harapan untuk berkembang. Aku hanya diberi obat saja. Kata bu bidan, jika memang Allah berkehendak bayi ini tumbuh normal, maka ia akan tetap ada dalam rahimku hingga waktu melahirkan tiba, tetapi jika Allah belum berkehendak, maka aku harus merelakannya dan bersabar.
Setelah selesai diperiksa, aku pulang, tetapi tidak ke rumahku. Aku pulang ke rumah ibuku yang jaraknya dekat dengan rumah bu bidan. Tiba di rumah ibu, kepalaku merasa pusing, perutku tiba-tiba sakit, rasanya seperti ditusuk-tusuk disertai mulas yang tidak berhenti. Ibu dan suamiku panik. Ibu terus mengelus elus perutku sambil terus berzikir.
Akhirnya, ketakutan itu pun terjadi. Aku banyak mengeluarkan darah. Si buah hati pun rupanya keluar bersama darah tersebut, tetapi anehnya tidak berbentuk gumpalan. Ini berbentuk seperti kerikil halus berwarna merah.
Aku tidak dikuret, karena kata bu bidan, sisa sisa darah yang ada di dalam rahim akan bersih dengan obat yang diberikan tadi sewaktu diperiksa.
Aku hanya bisa pasrah, tidak ada air mata, juga tidak keluar sepatah kata.
Setelah merasa sehat, aku pulang ke rumah. Pelan, aku mulai menerima kenyataan dengan sabar dan tidak putus harapan. Aku melanjutkan hari-hariku seperti biasanya. Pagi-pagi aku berjualan, setelah duhur aku mengajar ngaji anak-anak di madrasah sampai waktu asar, lanjut istirahat. Malamnya mengajar ngaji baca tulis Al-Quran di rumah. Cita-citaku hanya ingin anak-anak Islam bisa membaca dan menulis Al-Quran.
Namun, hari-hari yang sengaja aku sibukkan dengan segala kegiatan itu, tidak juga menjadi obat kesepianku, karena keinginan mempunyai keturunan, menjadi ambisi terbesar dalam hidupku saat itu.
Entah berapa puluh buah tes pack yang kuhabiskan untuk mengecek ketika aku merasa terlambat datang bulan, tetapi hasilnya tetap nihil.
Aku dan suami tidak diam begitu saja. Kami sering memeriksakan diri, ke dokter ataupun ke pengobatan alternatif. Setiap ada informasi seputar pengobatan ingin mempunyai keturunan, pasti kami datangi. Hasilnya kami berdua dinyatakan sehat. Mungkin Allah belum berkehendak.
Singkat cerita, 10 tahun sudah kulalui. Satu hari, aku merasa terlambat datang bulan lagi. Kali ini aku tidak melakukan tes kehamilan karena merasa kesal, "Buat apa juga di tes pack, toh hasilnya pasti negatif. Biarlah, kalau hamil, nanti juga perutku akan membesar", pikirku.
Semakin hari, kondisi kesehatanku semakin menurun, aku gampang cape, badanku lemas, dan kepalaku sering pusing. Tetapi aku tidak merasakan mual seperti halnya perempuan yang sedang hamil.
Karena tidak mengalami haid juga, aku jadi bertanya-tanya tentang kondisiku itu pada orang-orang yang sudah berpengalaman. Mereka menyarankan agar aku memeriksakan diri ke bidan. Tidak menunggu besok, aku pergi ke bidan diantar saudara. Waktu itu suamiku sedang bekerja di luar kota. Benar saja bu bidan menyatakan bahwa aku positif hamil.
MaasyaaAllah, bahagia tak terhingga saat itu! Aku segera menelpon suami, memberi tahu kabar bahagia yang ditunggu bertahun-tahun itu, tentu saja, aku, suamiku, ibu serta saudara-saudaraku semua merasa bahagia.
Namun, lagi-lagi, kebahagiaan itu seolah tidak mau berpihak kepadaku, janinku tidak mau bertahan lama di dalam rahimku. Aku pendarahan lagi, aku terpuruk. Malu, marah, benci, kesal, semua bercampur aduk dalam benakku. Aku meraung menangis sejadi-jadinya.
Aku bingung, apa yang harus kukatakan kepada orang-orang sekitar yang selalu bertanya "Kapan kamu punya anak?". Kemana aku harus bersembunyi dari mereka yang sering menyebutku ‘perempuan mandul’ Kata-kata seperti apa yang harus ku utarakan untuk membela diri dari mereka yang menakutiku, bahwa tidak mempunyai anak itu sangatlah rugi, tidak akan ada yang mendoakan, akan menua sendirian, dan akan ditinggal suami menikah lagi.
Aku sakit, badanku tidak kuat menahan semua beban pikiran negatifku. Beruntung, suamiku tidak bosan menghubungiku lewat telepon seluler. Dia terus meyakinkanku, bahwa satu hari nanti, kami akan mempunyai keturunan.
Karena penasaran dengan kondisiku yang sering terlambat datang bulan tetapi tidak hamil, aku disarankan oleh seorang tetanggaku agar memeriksakan diri ke sorang dokter kandungan yang sudah terkenal bagus di sebuah kota, sebut saja dokter Adi.
Atas izin suami, aku diantar ibu pergi periksa ke dokter Adi. Tibalah di tempat praktek dokter Adi. Tidak lama aku pun dipanggil untuk masuk ke ruangan pemeriksakan. Kuceritakan semua keluhan tentang seputar penantian kehamilan kepada dokter Adi. Ia hanya mengangguk-angguk saja.
Aku diperiksa dengan cara USG, tetapi sejenak merasa heran karena dokter seperti kebingungan ketika melihat hasil USG di layar monitor. Aku tidak sabar.
"Dok, bagaimana hasilnya?,” tanyaku.
"Emmm...Buk, begini saja ya, saya sarankan ibuk diperiksa lebih lanjut dengan cara HSG, Nanti ibu akan mengetahui bagaimana kondisi rahim ibu yang sebenarnya", jawab Dokter Adi.
"Ini rujukannya, nanti ibu daftar ke bagian radiologi. Di sana ibu akan diperiksa dengan cara HSG oleh dokter ahli kandungan,” sambung sokter Adi.
"Baik Dok, saya akan ke sana,”. Tanpa basa-basi aku mengiyakan arahan Dokter Adi.
Atas izin suami, besoknya dengan di antar oleh ibu pergi ke rumah sakit yang ditunjukkan oleh dokter Adi. Sebuah rumah sakit besar di satu kota yang jauh dari tempat kediamanku.
Setelah sampai di sana dan mengurus pendaftaran serta memenuhi persyaratan, aku mulai diperiksa secara HSG, yaitu dengan memasukan cairan kontras ke dalam rahim dan saluran telur, kemudian mengambil foto tontgen.
Sakitnya luar biasa. Selama diperiksa aku sengaja diajak ngobrol oleh perawat yang menemani dokter agar tidak terlalu fokus sama rasa sakit yang kualami.
Tidak lama, pemeriksaan selesai. Aku pun segera membereskan administrasinya.
"Tunggu sebentar ya Bu, hasilnya belum beres,” kata seorang perawat.
"Iya buk," jawabku.
"Bu Bintang". Tidak berselang lama, namaku pun dipanggil lewat pengeras suara dan diarahkan untuk masuk ke ruangan dokter.
"Silakan duduk Bu,” kata dokter.
"Bu, ini foto rontgennya. Saya tidak bisa menjelaskannya sekarang ya. Ini bawa saja ke dokter Adi,” sambung pak dokter lagi sambil memberikan amplop besar berwarna coklat itu.
Aku merasa curiga dengan hasil HSG-ku. Tanpa banyak bicara, aku mengajak ibu untuk pulang.
Sepanjang perjalanan aku diam, dengan penuh kelembutan, ibu mengelus tanganku.
"Bintaang...”
Bersambung
Via
Cerpen
Posting Komentar