Cerpen
Garis Dua Bintang yang Tak Kunjung Datang Part 2
Oleh: Kartika Soetarjo
TanahRibathMedia.Com—"Bintang... Apapun hasilnya, kamu harus ridha sama ketetapan Allah ya Nak."
Nasihat ibu meruntuhkan air mataku yang kutahan semenjak ke luar dari rumah sakit.
Tak sepatah kata pun keluar dari bibirku, hanya kepala yang kuanggukkan dengan pelan.
Tiba di rumah sakit tempat praktek dokter Adi, aku langsung masuk ke ruangannya dan memberikan hasil HSG itu.
"Bagaimana Dok hasilnya?" tanyaku dengan tidak sabarnya.
"Buk, ibu harus kuat ya! Sabar dan tenang. Yang memeriksa ibu itu, kami para dokter manusia biasa. Ilmu kami tidak ada apa-apanya dibanding dengan ilmu Allah yang Maha Luas."
Dokter Adi dengan hati-hati memberi penjelasan kepadaku. Penjelasan dokter Adi seperti itu justru membuat bertambahnya rasa sakit hati ini.
"Buk, hasil pemeriksaan HSG menyatakan, bahwa ibu akan sulit hamil. Bukan tidak bisa hamil, tetapi sulit untuk bisa hamil karena ibu hanya mempunyai satu tuba palofi dan itu pun tersumbat. Dokter yang memeriksa ibu sudah berusaha semaksimal mungkin untuk mengeluarkan sumbatan tersebut, tetapi Allah belum mengizinkan. Tuba palofi ibu tetap tersumbat."
Jegeeerr…Penjelasan dokter Adi serasa petir di siang hari menyambar ulu hati.
Tak berkedip, mataku terus menatap dokter Adi. Marah dan sakit rasanya waktu itu. Mataku mulai berembun. Aku diam tak mau beranjak dari kursi pasien, menunggu dan berharap dokter Adi salah dengan diagnosanya dan akan menyatakan bahwa aku baik-baik saja.
"Pasien selanjutnya..." Dokter Adi memberi isyarat agar aku meninggalkan ruangan.
"Terimakasih Dok," kataku pelan.
"Ya, sama-sama Buk".
Aku keluar dari ruangan dan ibuku kulewati begitu saja. Bumi benar-benar serasa runtuh menimpa sekujur tubuh. Air mataku begitu deras membasahi wajah. Cibiran, hinaan, tertawa penuh ejekan, semua memenuhi kepalaku. Apa yang harus kukatakan kepada keluarga suamiku? Apa yang harus kujelaskan kepada orang-orang yang selalu bertanya kapan aku hamil?
Apa...?
Apa...?
Apaaa…?
Aku limbung. Jalan yang kupijak tidak tampak jelas karena penglihatanku terhalang oleh air mata yang sangat deras.
Sesampainya di rumah, aku langsung masuk ke kamar melanjutkan tangis. Yang kutakutkan saat itu adalah suara telepon dari suamiku.
Jawaban apa yang harus kuberikan jika dia bertanya tentang hasil HSG-ku.
Benar saja, tidak berselang lama suara yang kutakutkan itu akhirnya terdengar juga. Ponselku berdering, kulirik, dan ternyata itu dari suamiku.
"Assalamualaikum..." terdengar suara salam dari suamiku. Aku membisu, tak kuat untuk menjawab, dan takut terjadi sesuatu jika aku memberi tahu keadaanku.
"Halo sayang, kamu di situ kan? Jawab dong salam dari suamimu!" sambung suamiku.
"Wa...waalaikumussalam," jawabku di sela isak.
"Kok kamu menangis? Bagaimana hasil HSGnya?" Pertanyaan yang kutakutkan pun keluar dari bibir suamiku.
"Mas, kamu gak akan marah kan? Kamu gak akan meninggalkan aku kan mas?" Penuh sesak aku balik bertanya kepada suamiku.
"Lo, kok ditanya hasil HSG malah balik bertanya seperti itu, memangnya hasilnya bagaimana sayang?” ujar suamiku penasaran.
"Hasilnya, aku... aku sulit hamil mas." Air mataku semakin deras.
"Tunggu! aku pulang sekarang."
Hening. Suamiku mematikan ponselnya.
Bersambung...
Via
Cerpen
Posting Komentar