Opini
Keracunan Massal: Menyingkap Kegagalan Sistemik Program MBG
Oleh: Indri Wulan Pertiwi
(Aktivis Muslimah Semarang)
TanahRibathMedia.Com—Program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang diluncurkan secara serentak di 26 provinsi pada 6 Januari 2025, kini menghadapi krisis kredibilitas yang serius. Awalnya tercoreng oleh penundaan pembayaran mitra, program ini kini dilanda kasus keracunan massal yang menimpa puluhan siswa di MAN 1 Cianjur dan SMP PGRI 1 Cianjur, Jawa Barat. Kejadian ini menyebabkan 52 siswa MAN 1 Cianjur dan 20 siswa SMP PGRI 1 Cianjur mengalami gejala keracunan setelah mengonsumsi makanan dari program MBG (kompas.com/24/04/2025).
Tragedi keracunan massal di Cianjur yang menimpa puluhan siswa setelah mengonsumsi makanan dari program MBG, menjadi titik kulminasi dari serangkaian kegagalan sistemik. Insiden ini bukanlah sekadar kesalahan tetapi cerminan dari pendekatan yang keliru dan prioritas yang salah, yang berakar pada sistem kapitalisme yang mengabaikan keadilan dan kesejahteraan rakyat.
Begitu juga dengan kegagalan program MBG yang tidak terlepas dari sistem kapitalisme yang menjadi dasar dari kebijakan publik saat ini. Hal tersebut bisa tercermin dari pengadaan bahan pangan dalam program MBG diserahkan kepada pihak swasta yang lebih cenderung memperhatikan keuntungan mereka daripada kesejahteraan rakyat. Hal ini dapat membuka ruang bagi praktik korupsi dan penggunaan bahan makanan berkualitas rendah demi memangkas biaya produksi, yang pada akhirnya merugikan rakyat, sebagaimana terlihat dalam kasus keracunan di Cianjur.
Sementara Pemerintah, dalam hal ini, tampaknya hanya berperan sebagai regulator pasif, bukan sebagai penjamin kualitas dan efektivitas program. Sebab MBG hanya bergantung sepenuhnya pada kontraktor swasta tanpa pengawasan yang memadai dan efektif. Hal ini menunjukkan lemahnya komitmen negara dalam memberikan pelayanan publik yang bertanggung jawab dan berdampak pada kerentanan rakyat terhadap praktik bisnis yang tidak bertanggung jawab. Dengan begitu bisa dikatakan bahwa Program MBG adalah program pencitraan dan menunjukkan popularitas pemerintah tanpa memperhatikan realitas di lapangan.
Selain faktor-faktor di atas, masalah duplikasi anggaran yang fantastis (Rp. 238,147 triliun) dan konsentrasi pembangunan Sarana Penggerak Pembangunan Guru (SPPG) di daerah tertentu tanpa memperhatikan wilayah 3T (tertinggal, terdepan, terluar) memperparah kegagalan ini. Hal ini bukan hanya menunjukkan adanya persoalan keuangan, tetapi juga mencerminkan prioritas yang keliru dalam pengelolaan program yang seharusnya mengedepankan kebermanfaatan bagi seluruh rakyat Indonesia.
Dengan demikian maka menjadi jelas bahwa Kegagalan MBG bukan sekadar serangkaian kesalahan teknis atau kelalaian, melainkan refleksi dari cacat struktural yang berakar pada pendekatan yang keliru dalam kebijakan publik. Selain adanya kesalahan dalam memahami akar persoalan, yang sejatinya kekurangan gizi berasal dari kemiskinan dan hal tersebut adalah hasil dari penerapan sistem kapitalisme.
Kendati program pemberian makanan gratis sangat penting dalam upaya mengatasi permasalahan gizi buruk dan kemiskinan, khususnya bagi kalangan yang membutuhkan. Namun, jika tanpa perbaikan struktural yang mendasar terhadap sektor lainnya seperti ekonomi, Kesehatan, dan pendidikan maka program tambal sulam seperti MBG, hanya akan menghasilkan kegagalan berulang.
Dalam pandangan Islam, kesejahteraan rakyat bukan sekadar janji, melainkan kewajiban negara yang merupakan konsekuensi dari keimanan kepada Allah Swt. Kebijakan publik diukur berdasarkan prinsip halal haram dan maslahat mudharat. Apa pun yang merugikan rakyat akan dihindari. Jaminan kesejahteraan tidak hanya sebatas makan bergizi gratis, namun meliputi kebutuhan pokok: sandang, pangan, papan, kesehatan, pendidikan, dan keamanan bagi seluruh lapisan masyarakat, tanpa memandang kaya atau miskin.
Sebagaimana sabda Rasulullah saw., “Imam (Khalifah) adalah raa’in (pengurus rakyat) dan ia bertanggung jawab atas pengurusan rakyatnya.” (HR al-Bukhari).
Pemimpin dalam Islam berperan sebagai raa’in (pengurus bagi umat). Sistem ekonomi Islam menawarkan jaminan kesejahteraan bagi masyarakat dengan prinsip-prinsip yang berakar pada ajaran agama Islam. Prinsip utama dalam sistem ekonomi Islam adalah keadilan, persaudaraan, dan berbagi kekayaan secara merata. Contohnya adalah konsep zakat, yang merupakan kewajiban bagi umat Muslim untuk memberikan sebagian dari kekayaan mereka kepada yang berhak. Zakat bukan hanya menjadi instrumen dalam mengurangi kesenjangan sosial dan ekonomi, tetapi juga sebagai mekanisme redistribusi kekayaan untuk mendukung kesejahteraan umat.
Selain zakat, sistem ekonomi Islam juga mengatur tentang pengelolaan aset alam yang bersifat adil dan berkelanjutan. Kekayaan alam dipandang sebagai pemberian Allah yang harus dikelola dengan bijak untuk kebaikan bersama. Prinsip kepemilikan yang diatur dalam Islam menekankan bahwa kekayaan alam seharusnya dimiliki sebagai harta bersama masyarakat, bukan hanya oleh segelintir individu atau kelompok tertentu. Hal ini membantu mencegah monopoli kekayaan dan memastikan distribusi yang adil kepada seluruh lapisan masyarakat.
Selain itu, sistem ekonomi Islam juga menempatkan pentingnya keberlanjutan lingkungan sebagai bagian integral dari jaminan kesejahteraan. Prinsip tata kelola yang baik dalam Islam menuntut pengelolaan sumber daya alam secara berkelanjutan untuk memberikan manfaat yang berkelanjutan bagi generasi saat ini dan masa depan. Sehingga kesejahteraan bukanlah sekadar slogan, tetapi realitas yang terwujud melalui penyediaan lapangan kerja yang memadai di berbagai sektor.
Tragedi keracunan massal di Cianjur bukan sekadar peristiwa insidental, melainkan cerminan kegagalan sistemik. Perbaikan yang berarti hanya mungkin terwujud melalui perubahan sistemik yang mendahulukan kemaslahatan rakyat. Penerapan Islam secara kaffah dapat menjadi fondasi kokoh untuk mewujudkan perubahan signifikan dan kesejahteraan yang hakiki bagi seluruh masyarakat.
Wallahu'alam.
Via
Opini
Posting Komentar