Opini
Mengkritisi Kasus DUI dan ‘Cancel Culture’ yang Banyak Dialami Artis Korea Selatan
Oleh: Hesti Nur Laili, S.Psi.
(Sahabat Tanah Ribath Media)
TanahRibathMedia.Com—Kasus Driving Under Influence (DUI) atau mengemudi dalam keadaan mabuk menjadi kasus yang masuk ke dalam kategori pelanggaran berat di Korea Selatan. Selain denda dan hukuman penjara, bagi artis yang mengalami demikian akan mendapatkan tambahan hukuman dari masyarakat berupa ‘cancel culture’ hingga menghancurkan karir keartisan mereka dan sampai di tahap beberapa di antaranya melakukan bunuh diri akibat tidak kuat terhadap kecaman yang diterimanya (antaranews.com, 14-3-2025).
Cancel culture sendiri merupakan sebuah budaya tindakan pemboikotan dan kecaman secara serempak yang dilakukan oleh masyarakat Korea Selatan kepada para publik figur seperti artis, pejabat publik, hingga influencer yang melakukan tindakan atau pernyataan yang melanggar norma sosial masyarakat Korea. Fenomena ini tak hanya ditujukan terkhusus pada kasus DUI saja, tetapi kasus lain seperti kasus bullying, penyalahgunaan narkoba, skandal percintaan, pelecehan seksual, dan lainnya (detik.com, 18-2-2025).
Secara sekilas, adanya cancel culture ini baik, karena dengannya bisa mengendalikan publik figur agar tidak bertindak seenaknya hingga menjadi contoh buruk bagi masyarakat. Namun di sisi lain, hal ini tidak sesuai dengan sistem sekuler-kapitalisme yang menjadi asas kehidupan mereka. Pada kasus DUI contohnya, di Korea Selatan, minum minuman beralkohol adalah sebuah tradisi. Bahkan menurut survei dari WHO tahun 2018, Korea Selatan menjadi negara tertinggi di Asia yang paling banyak mengkonsumsi minuman beralkohol hingga per kapitanya mencapai 16 liter per tahun (validnews.id, 5-10-2022).
Meski konsekuensi hukum yang diberlakukan oleh pemerintah Korea diklaim dapat mengurangi kasus DUI yang kerap terjadi, seperti data dari Korean Herald melaporkan bahwa Badan Kepolisian Nasional mencatat 13.042 kasus DUI di Korea Selatan sepanjang 2023. Angka ini menunjukkan penurunan bertahap dibandingkan dengan 29.990 kasus pada 2006 sejak adanya aturan ketat kasus DUI. Namun tetap saja kasus ini tidak hilang dan akan terus ada, selagi budaya minum minuman keras masih berlaku di tengah masyarakat. Karena sekitar 43,6 persen kasus DUI dilanggar oleh pelaku pengemudi yang pernah melakukan hal sama dengan dampaknya yang masih kerap terjadi yakni sebanyak 159 korban meninggal dunia dan 20.628 orang mengalami luka-luka pada tahun 2023 (Antaranews.com, 14-3-2025).
Sekali lagi, inilah yang terjadi jika sistem sekuler-kapitalisme yang diberlakukan di suatu negara. Seringkali aturan tidak sejalan dengan hak kebebasan masyakarat yang diberikan oleh negara. Negara membolehkan masyarakatnya untuk minum minuman beralkohol hingga menjadi tradisi, sementara di saat yang sama negara berlaku keras pada masyarakat yang melanggar aturan berkendara dalam keadaan mabuk.
Jelas hal ini rancu dan menandakan betapa tidak sinkronnya sikap reaktif publik serta ketatnya hukum terhadap kasus DUI dengan bebasnya peredaran alkohol di masyarakat. Apa yang bisa diharapkan dari seseorang yang berada di bawah pengaruh alkohol selain akal yang sedang tidak bisa digunakan secara normal? Bahkan mengendalikan dirinya saja tidak bisa, apalagi harus mematuhi aturan ketat dari pemerintah. Inilah yang membuat kasus DUI tidak akan hilang meski dengan aturan ketat tersebut, pemerintah mengklaim kasusnya bisa berkurang.
Dan inilah dampak dari penerapan sistem sekuler-kapitalisme, yang mana antara penerapan hukum dan kasus yang terjadi di masyarakat seperti sistem tambal sulam. Tidak menghilangkan masalah seakar-akarnya.
Berbeda apabila sistem Islam yang diterapkan oleh suatu negara. Di dalam sistem Islam, aturan yang digunakan bersifat baku yang bersumber dari Al-Qur'an dan as-sunah, bukan dari karangan manusia yang didasarkan pada hawa nafsu atau pesanan dari pihak-pihak tertentu kepada negara. Pelegalan miras di suatu negara tentu saja atas izin dari pemerintah tanpa peduli apakah itu baik atau buruk untuk masyarakatnya. Karena dalam sistem sekuler-kapitalisme, pemerintah hanya sebagai regulator bagi para pengusaha. Sedangkan di dalam Islam, pemerintah adalah ra'in dan junnah yang berfungsi untuk menjaga, melindungi, mengagumi dan mengurus umat.
Tentu dengan fungsi negara yang sesuai dengan Islam, segala produk yang bisa merugikan masyarakat, termasuk di dalamnya miras, tidak akan diberikan izin. Sehingga hal ini sangat sejalan dengan konsekuensi hukum yang diberikan kepada masyarakat apabila ada kasus kecelakaan yang disebabkan oleh pengaruh minuman keras.
Melihat fakta ini, lantas bagaimana sikap kita sebagai warga negara Indonesia dengan jumlah muslim terbanyak?
Sering kali masyarakat kita demi ingin dianggap modern, suka meniru-niru budaya negara lain yang lebih maju. Namun sayangnya hal yang ditiru bukanlah dari sisi positifnya seperti budaya tidak mudah mengambil milik orang lain atau pemikiran kritis yang banyak dilakukan oleh masyarakat di negara maju, tetapi lebih kepada budaya atau kebiasaan buruk yang ditiru, seperti free sex, miras yang menjadi tradisi di pergaulan, maupun budaya berpakaian mini yang dianggap keren daripada busana Muslimah yang sesuai syariat.
Maka, melihat fakta kasus di atas, seharusnya bisa menjadi bahan kaum Muslimin untuk berpikir kritis sebelum akhirnya dengan mudah meniru-niru budaya negara lain. Apalagi jika kita menelaah lebih dalam bahwa hanya Islam yang mampu mengatasi segala persoalan hidup umat dengan tuntas, tidak dengan sistem tambal sulam yang sama sekali tidak menyelesaikan masalah.
Sekaligus juga sebagai pemantik ghirah kaum muslimin untuk menegakkan kembali nilai-nilai Islam, memperjuangkan tegaknya syariat Islam dalam bernegara, hingga tercipta kedamaian dan kesejahteraan di tengah masyarakat serta dapat dengan mudah terwujudnya generasi cemerlang di masa yang akan datang, yang mana tak kalah dengan negara-negara yang dianggap maju dan modern hari ini.
Via
Opini
Posting Komentar