Opini
Mengupas Kasus Dokter Cabuli Pasien, Siapa yang Salah?
Oleh: Hesti Nur Laili, S.Psi
(Sahabat Tanah Ribath Media)
TanahRibathMedia.Com—Masyarakat Indonesia kini sedang panas akibat dihebohkan dengan adanya kasus seorang dokter spesialis obstetri dan ginekologi atau SpOG yang telah melakukan pelecehan seksual terhadap pasien-pasiennya. Oknum dokter spesialis obgin yang biasa dipanggil dr. Iril itu membuka praktik di Garut. Kasusnya menjadi viral lantaran tersebarnya video CCTV di sosial media yang memperlihatkan sang dokter tersebut tengah berusaha melecehkan pasiennya saat melakukan USG (bbc.com, 17-4-2025).
Kasus ini menjadi panas hingga menimbulkan ketakutan tersendiri di tengah masyarakat terhadap dokter, lantaran sebelumnya juga terdapat kasus serupa yang dialami oleh anak pasien dari Rumah Sakit Hasan Sadikin (RSHS), Bandung, Jawa Barat. Seorang oknum dokter anastesi PPDS diketahui telah melakukan aksi rudapaksa kepada anak salah satu pasien dengan modus mengambil sample darah, yang kemudian pelaku menyuntikkan anastesi kepada korban hingga hilang kesadarannya, lalu dirudapaksa (Kompas.com, 13-4-2025).
Dokter adalah profesi yang sangat dipercayai oleh masyarakat dari segala lapisan. Mereka dianggap tahu tentang apa yang harus dilakukan untuk menyembuhkan pasien. Tidak sedikit dari pasien bahkan seolah menyerahkan diri semuanya kepada dokter dengan harapan agar bisa sembuh. Segala titah dokter pun didengar dan dilakukan oleh pasien tanpa berpikir lagi, atau mencoba mengkritisi mengapa dokter menyuruh ini dan itu. Dokter seolah memiliki kekuasaan lebih akan diri pasien, pun demikian sebaliknya, pasien menaruh kepercayaan yang sangat tinggi kepada dokter. Namun, sejak viralnya kasus pelecehan seksual yang dilakukan oknum dokter-dokter ini, otomatis mencederai kepercayaan itu.
Tindak pelecehan seksual yang dilakukan oleh oknum dokter kepada pasien adalah sebuah tindak pidana sekaligus pelanggaran berat dalam kode etik kedokteran. Publik pun menjadi bertanya-tanya, mengapa seorang dokter bisa dan tega melakukan tindakan amoral itu kepada pasien? Mengapa seorang dokter yang biaya sekolahnya sangat mahal dengan nilai ratusan juta rupiah, bisa dengan mudah mengorbankan hal itu demi kepentingan nafsu sesaat? Dan mengapa bisa sebodoh itu, menghancurkan karir sendiri?
Acapkali adanya kasus pelecehan seksual yang dilakukan oleh oknum dokter ini dibahas dengan faktor penyebabnya adalah hanya sebatas pada internal dengan lingkup pribadi seperti adanya penyalahgunaan kekuasaan dan kepercayaan oknum dokter yang memiliki masalah kepribadian atau psikologis hingga muncul niat buruk hingga menjadikan pasien sebagai sasaran karena posisi korban yang sangat rentan untuk dimanipulasi. Atau faktor lain berupa sebatas kurangnya sistem pengawasan dalam proses medis, dan juga minimnya penekanan pendidikan etika saat masa pendidikan kedokteran.
Sedangkan faktor eksternal berupa pemicu dari mengapa seorang dokter bisa berbuat asusila kepada pasiennya, sangat jarang sekali dibedah, bahkan oleh para ahli. Padahal sebab inilah yang tak hanya membuat seorang dokter dengan sumpah profesi yang mereka ucapkan untuk menjaga profesionalismenya dengan pasien, tetapi sebab ini juga yang kian banyak menjadi pemicu maraknya pelecehan seksual yang dilakukan oleh siapapun tanpa memandang profesi, bahkan dilakukan oleh ayah kandung sendiri. Apa itu?
Pemicu terbesar dari maraknya pelecehan seksual dan bahkan dilakukan oleh para ahli medis adalah sistem kapitalisme. Sistem sekuler-kapitalisme sangat berperan besar dalam merusak generasi suatu bangsa, menghancurkan nilai-nilai moral, dan juga kehormatan dari seorang ahli medis. Dalam sistem kapitalisme ini, apapun boleh masuk tanpa filter. Sedangkan pemerintah hanya menjadi regulator bagi para kapitalis. Sehingga segala jenis yang berbau pornografi atau hal-hal yang menjadi pemicu bangkitnya syahwat laki-laki bisa dengan bebas beredar di tengah masyarakat.
Sementara itu, sekularisme yang merasuk di berbagai lini termasuk di dunia pendidikan, banyak menafikan moralitas serta tanggung jawab akan sumpah dan profesi dokter. Pendidikan di sistem sekuler-kapitalisme ini hanya mengedepankan nilai-nilai akademis ketimbang bagaimana membangun komitmen moral dan profesional dalam memberikan pelayanan kesehatan yang berlandaskan nilai-nilai kemanusiaan. Kampus-kampus kedokteran ternama juga hanya berlomba-lomba untuk seolah mencetak iming-iming profesi bergengsi, menjadi kaya dan sukses dengan gelimang materi, serta menjadi orang yang dihormati di tengah masyarakat, namun nyatanya kosong terhadap visi besar bagi peradaban umat.
Derasnya informasi pemicu-pemicu syahwat, ditambah dengan sekularisme yang merasuki kepala-kepala pelaku hingga tidak ada ketakutan di dalam dirinya untuk melakukan hal-hal buruk, termasuk takut kepada Tuhan, jelas akan meloloskan niat nista tersebut. Sekularisme membuka lebar peluang kejahatan seksual. Campur baurnya laki-laki dan perempuan, dipisahkannya agama dari kehidupan sehari-hari, hingga sikap-sikap individualisme dan cuek dengan sekitar yang makin menyuburkan perbuatan amoral ini.
Hal ini diperparah dengan sistem hukum yang tidak membuat jera para pelakunya. Pencabutan izin praktik dan hukuman pidana beberapa tahun, jelas ini tidak sesuai dengan trauma yang harus ditanggung oleh korban seumur hidupnya.
Maka, berbeda apabila sistem Islam yang ditegakkan di dalam menjalankan sistem pemerintahan dan yang berlaku di masyarakat. Daulah Islam sejak dini akan mencegah adanya peluang praktik-praktik pelecehan seksual, bahkan oleh kalangan dokter. Khalifah secara tegas menutup segala akses yang berbau porno dan apapun yang dapat membangkitkan syahwat laki-laki maupun perempuan. Karena di sistem Islam ini, negara atau daulah adalah ra'in dan junnah, atau pelindung, pengayom, dan penjaga umat.
Selain itu, di dalam sistem pendidikan Islam, para peserta didik ditanamkan sejak dini untuk mengenal Allah, memahami hakikat penciptaan mereka serta apa tujuan hidup mereka di dunia. Penanaman akidah yang kokoh inilah yang akan membentuk kepribadian peserta didik dan membuat mereka berlomba-lomba menjadi manusia yang bertaqwa dan bermanfaat bagi umat. Selain itu, penanaman akidah yang kuat ini juga menumbuhkan rasa selalu diawasi oleh Allah di dalam diri mereka, hingga mereka senantiasa berhati-hati dalam setiap tindak tanduknya.
Kemudian, sistem hukum di dalam Islam juga dibuat sangat adil dan tak bisa diganggu gugat dalam memberikan hukuman apabila seseorang dinyatakan bersalah. Hukuman yang diberikan pun tak main-main, bersifat berat dan memiliki efek jera. Seperti misalnya pada pelaku pelecehan seksual, mereka dihukumi seperti perbuatan zina. Bagi yang belum menikah akan mendapatkan hukuman cambuk di area terbuka dan disaksikan oleh masyarakat. Pun demikian jika yang melakukan pelecehan seksual adalah mereka yang sudah menikah, hukumannya jauh lebih berat, yakni hukuman rajam sampai mati dan disaksikan oleh masyarakat. Sedangkan bagi pelaku pelecehan seksual sesama jenis, seperti sodomi pada anak-anak, maka hukumannya langsung hukuman mati dengan cara diterjunkan dengan posisi kepada terbalik dari gedung yang paling tinggi.
Hukuman ini, beserta sistem pendidikan yang menanamkan nilai-nilai akidah dan moral, kemudian pencegahan yang dilakukan oleh negara dengan menutup semua akses informasi negatif adalah cara yang paling ampuh untuk mencegah timbulnya kasus pelecehan seksual seperti ini.
Melihat kedua perbedaan di atas yang sangat signifikan tersebut, maka sebagai umat Islam, kita tak perlu lagi untuk ragu dalam mendakwahkan penegakan syari'at Islam oleh negara. Karena dengan itu, tak hanya mencegah umat dari kerusakan, mencegah adanya kasus-kasus pelecehan seksual, tetapi juga untuk melahirkan generasi gemilang seperti masa kejayaan Islam di masa lampau.
Via
Opini
Posting Komentar