Opini
Relokasi Palestina, Bukti Lemahnya Kesatuan Kaum Muslimin
Oleh: Yuli Mariyam
(Pendidik Generasi Tangguh)
TanahRibathMedia.Com—500 hari berlalu atas genosida yang dilakukan oleh penjajah Israel terhadap penduduk Palestina terutama warga Gaza yang menyisakan kehancuran di mana-mana. Korban nyawa yang melayang tidak hanya dari kalangan para mujahidin yang melakukan perlawanan dengan segala keterbatasan persenjataan, namun juga ratusan ribu warga sipil termasuk di dalamnya wanita dan anak-anak, rumah dan segala fasilitas yang hancur membuat warga harus tinggal di kamp-kamp pengungsian yang bisa menjadi target pengeboman kebiadaban tentara musuh.
Di tengah penderitaan yang dialami warga Gaza, Presiden Amerika Serikat Donald Trump menyatakan dukungannya terhadap anak emasnya Israel dengan mengatakan bahwa Amerika akan merelokasi warga Gaza ke negara-negara sekitar seperti Mesir dan Yaman agar wilayah Gaza bisa di rekonstruksi untuk bisa dihuni kembali. Pernyataan ini disampaikan dalam pertemuan di Oval Office dengan Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu, pada Senin (7-4-2025). Trump mengungkapkan bahwa pemindahan warga Palestina dari Gaza akan memberikan kesempatan bagi wilayah tersebut untuk menjadi "zona kebebasan" (Kompas.com, 8-4-2025).
Menyambut pernyataan tersebut, Presiden Indonesia Prabowo Subianto menyatakan kesediaan Indonesia menerima pengungsi Gaza sebagai wujud dari kepedulian dan kemanusiaan (Kompastv, 9 April 2025). Namun pernyataan tersebut mendapat kritikan dari para ulama yang berpendapat hal tersebut sama saja dengan mengosongkan Gaza, ini menjadi lebih berbahaya lagi karena justru memberikan ruang kepada penjajah Israel untuk menempat wilayah tersebui tanpa ada perlawanan.
Solusi Untuk Palestina Hanya dengan Persatuan Umat
Umat Islam saat ini memang bukan mayoritas di dunia, tetapi jumlah keseluruhan yang melebihi 2 milyar kepala sudah seperti buih di lautan, tidak punya visi yang jelas, mudah diombang-ambing oleh kafir Barat penjajah yang tak henti-hentinya membuat makar untuk memecah belah kaum Muslim. Kaum Muslim tak berdaya menghadapi Israel yang hanya tujuh juta jiwa saja. Miris, tetapi itulah fakta yang terjadi ketika tidak ada khilafah sebagai institusi dan perisai yang mempersatukan dan melindungi kaum Muslim seluruh dunia. Selama 1400 tahun dunia Islam bersatu dan berjaya di bawah panji-panji kemuliaan Islam, dengan dipimpin oleh seorang Khalifah yang menerapkan syariat Islam dalam bingkai khilafah. Negara yang mampu mengurus dua pertiga dunia dengan damai dan sejahtera.
Sejarah membuktikan penguasa-penguasa Muslim berjuang keras untuk membebaskan Al Quds. Dari zaman Umar bin Khottob yang mengirimkan Khalid bin Walid untuk menyingkirkan pasukan Romawi, berlanjut ke masa Shalahudin Al Ayyubi saat pendudukan dilakukan oleh salibis pada tahun 1137, Khilafah mengatur tiga agama yakni Islam, Kristen, dan Yahudi hidup berdampingan tanpa ada intimidasi terhadap kelompok tertentu. Namun semua itu hancur ketika Khilafah dilenyapkan pada tahun 1924 oleh Mustofa Kemal At Taturk laknatullah alaihi. Kaum Muslim menjadi bercerai-berai, terkotak-kotak dalam nasionalisme, menjauhkan agama dari kehidupan, cinta dunia, dan takut mati, bahkan lalai akan urusan akhirat yang akan menanyakan apa yang telah diperbuat terhadap suadaranya seakidah yang dalam kesusahan.
Butuh Disadarkan
Sejatinya, berbagai cara sudah banyak dilakukan kaum Muslim untuk menunjukkan kepeduliannya terhadap Palestina, dari boikot produk-produk yang terafiliasi dengan Israel, mengirimkan dana bantuan dan juga gelaran doa-doa bersama untuk kemerdekaan Palestina. Namun hal ini belumlah memberikan solusi tuntas. Karena kaum muslim perlu menyadari bahwa jihad dengan mengirimkan pasukan militer ke Palestina adalah satu-satunya jalan memerdekakan mereka dari penjajahan Israel dengan pendukungnya, Amerika Serikat.
Jihad pun tidak bisa dilakukan secara individual atau oleh kelompok tertentu, karena yang dihadapi adalah kekuatan sistemik, maka jihad pun harus sistemik. Dalam Islam, Jihad dikomando langsung oleh khalifah, didanai oleh daulah khilafah, dan dilakukan oleh seluruh kekuatan militer yang ada di negeri-negeri kaum Muslim, terutama yang paling dekat dengan negeri yang terjajah.
Jihad dan khilafah tidak akan pernah terlaksana selama kaum Muslim masih terpenjara dalam nasionalisme, sekularisme, dan kapitalisme. Kaum Muslim harus menyadari bahwa diri mereka adalah satu seperti yang disebutkan dalam Al-Quranul karim dalam surat Al Hujurat ayat 11: “Innamal Mukminuuna Ikhwah” yang artinya:
“Sesungguhnya kaum Muslim adalah bersaudara”.
Bahkan di dalam sebuah hadist, Rasulullah menggambarkan kaum Muslim layaknya satu tubuh, jika salah satu bagian tubuh terluka maka bagian tubuh yang lain akan merasakan sakit. Tidak hanya merasakan sakit, secara naluri akal akan mencari cara untuk menyembuhkan dari rasa sakit dan berusaha agar tidak merasakan sakit lagi.
Sudah saatnya kaum Muslim kembali kepada kodratnya sebagai seorang hamba dan menjalankan segala perintah Tuhannya serta menjauhi larangan-Nya. Tidak hanya sebagai individu yang taat, masyarakatnya juga harus senantiasa melakukan amar makruf nahiy mungkar. Di sisi lain, khalifah mengatur negara dengan syariat Islam. Kembali kepada Islam Kaffah dalam bingkai Khilafah, sehingga menjadikan negeri-negeri kaum Muslimin sebagai negeri yang berkah dan membawa ampunan dari Allah subhanahu wata’ala.
Wallahu’alam bi showab.
Via
Opini
Posting Komentar