Opini
UU Kontroversi, Refleksi Pengaturan Demokrasi
Oleh: Yuke Octavianty
(Forum Literasi Muslimah Bogor)
TanahRibathMedia.Com—Pengesahan RUU TNI ditetapkan pada 20 Maret 2025. DPR dijadwalkan akan mengetok palu revisi UU TNI di tengah gelombang penolakan yang terus disuarakan masyarakat. Tidak hanya disuarakan di dunia nyata, gelombang penolakan pun terus menggelora di dunia maya dengan trendingnya #TolakRUUTNI. Suara cuitan pun menembus angka 168 ribu di media sosial X (tempo.co.id, 20-3-2025). Petisi penolakan digagas masyarakat, salah satunya oleh Koalisi Masyarakat Sipil yang beraksi untuk menghadang para legislator dalam pengesahan UU kontroversi tersebut.
Terdapat beberapa poin penting yang menjadi sumber kontroversi terbitnya UU TNI. Pertama, adanya tambahan kewenangan operasi militer selain perang. Yakni kewenangan TNI menanggulangi ancaman siber serta membantu melindungi WNI dan kepentingan nasional di luar negeri. Kedua, adanya jabatan instansi selain TNI. Ketiga adanya tambahan usia pensiun prajurit TNI (CNNIndonesia.com, 20-3-2025).
Para pengamat politik berpendapat, kebijakan ini akan mengganggu tatanan sosial secara signifikan. Kebijakan ini tidak ubahnya telah kembali mengaktifkan dwi fungsi ABRI yang telah lama dibekukan. Peneliti ISEAS Yusof Ishak Institute Made Supriatna menyampaikan pendapat bahwa militer tidak akan pernah demokratis karena segala perintah merupakan komando hirarkis. Sehingga semuanya tergantung perintah atasan secara militer. Komando ini akan semakin memudahkan setir publik melalui sarana militer. Tentu saja, hal ini akan membahayakan kepentingan publik (bbc.com, 18-3-2025).
Berkaca dari Sistem Demokrasi
Pemerintah dan DPR yang diklaim sebagai wakil rakyat kembali mempertontonkan ketidakadilan. Hal tersebut jelas nampak saat pengesahan revisi UU TNI yang kini tengah panas diperbincangkan.
Proses legislasi yang terkesan terburu-buru dan penuh rekayasa menunjukkan adanya ketidakberesan dalam tubuh UU TNI. Terlebih, undang-undang baru ini isinya bertentangan dengan kehendak rakyat dan amanat reformasi. "Permainan" semacam ini tidak kali ini saja diperlihatkan. Pemerintah dan DPR lebih suka memilih jalan instant, tertutup dan sedikit pastisipasi publik saat menggodok proses undang-undang yang bertentangan dengan kehendak publik.
Tertutupnya proses pembahasan revisi UU TNI pun menjadi bukti bahwa pemerintah dan DPR lebih suka bermain sendiri ketimbang menerima masukan dari masyarakat. Perluasan peran TNI di ranah sipil jelas akan membuka luka lama. Yakni munculnya pemerintahan militerilistik layaknya masa Orde Baru yang mencampakkan supremasi sipil di dalamnya.
Penetapan revisi UU TNI yang dipenuhi masalah tidak layak diterima masyarakat sebagai suatu pedoman. Karena secara langsung akan menimbulkan masalah pemerintahan yang semakin mengoyak kepentingan publik.
Inilah refleksi rusaknya sistem yang kini djadikan acuan. Sistem demokrasi sekularisme, sistem yang digadang-gadang mengutamakan suara rakyat, namun faktanya jauh panggang dari api. Rakyat hanya dijadikan tumbal kebijakan yang sama sekali tidak diperuntukkan untuk melayani publik. Bukan hal mustahil jika kekuatan militer ini pun bisa menjadi senjata ampuh pemerintahan untuk membungkam suara-suara kritis di tengah masyarakat.
Demokrasi merupakan sistem rusak yang cacat sejak lahir. Aturannya bersumber dari pemikiran manusia yang lemah. Tidak bersumber dari aturan yang haq. Wajar saja, setiap aturannya dengan mudah disetir pihak bermodal dan berwenang. Kekuasaan dijadikan alat untuk memenuhi kepentingan oligarki penguasa. Sikap yang otoritarian menjadi hal yang lumrah terjadi. Karena memang fokus tujuan sistem ini bukan untuk melayani urusan rakyat. Rakyat pun selalu diposisikan sebagai pihak yang tersingkirkan dan terlalaikan.
Pandangan Islam
Rakyat merupakan satu-satunya tujuan kepemimpinan. Dalam Islam, pemimpin bertanggung jawab atas layanan setiap urusan rakyat. Rasulullah saw. Bersabda:
"Setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggungjawaban atas yang dipimpinnya.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Berbeda dengan sistem demokrasi yang rawan kecurangan, Islam menghadirkan kepemimpinan yang amanah. Pemimpin dipilih berdasarkan kemampuan, loyalitas, dan profesionalitasnya agar mampu memberikan pelayanan terbaik bagi umat. Segala kebijakan diambil dengan penuh tanggung jawab dan kebijaksanaan dalam institusi khilafah, satu-satunya wadah pemerintahan yang diterapkan Rasulullah saw. saat membangun daulah Islam di Madinah. Institusi inilah yang menjadi role model keberhasilan kepemimpinan karena setiap mekanisme dan strategi yang ditetapkan senantiasa disandarkan pada hukum syarak. Sehingga jelaslah, aturan agama sama sekali tidak mampu dipisahkan dari pengaturan urusan rakyat. Karena nadi kepemimpinan yang amanah adalah aturan agama yang ditetapkan Allah Swt.
Dalam kepemimpinan Islam, Majelis Umah berperan sebagai wakil rakyat yang dipilih oleh umat. Majelis ini bertugas menyampaikan aspirasi rakyat, namun tidak memiliki hak dan kewenangan dalam menetapkan aturan. Sebab, segala aturan dalam kehidupan ditetapkan berdasarkan hukum syarak.
Menyoal masalah UU TNI, Islam memandang bahwa ketetapan ini merupakan keputusan yang tidak bijak. Mengingat profesionalisme, loyalitas, dan indepedensi prajurit yang akan dikebiri di ranah sipil. Bukan menjadi wadah ideal saat militer dijadikan satu fokus dalam pengaturan sipil. Keputusan ini semakin memperlihatkan sikap pemerintah yang tidak memiliki dasar yang jelas dalam pengaturan urusan rakyat.
Islam menetapkan bahwa negara adalah satu-satunya institusi perisai yang mampu menjaga setiap urusan umat. Konsep ini hanya mampu diterapkan secara sempurna dan menyeluruh dalam wadah khilafah.
Dalam sistem ini, kebutuhan rakyat dipenuhi secara utuh, menciptakan perlindungan dan kesejahteraan yang berlandaskan konsep yang bijaksana dan terarah.
Wallahu a’lam bisshawwab.
Via
Opini
Posting Komentar